• Belajar membuat blog dan website mendapat dollar dari Google Adsense
  • Mempelajari Proses Biokimia yang terjadi di dalam pohon, mengetahui bagaimana pohon itu tumbuh
  • Menanam dan memelihara pohon untuk kesejanteraan
  • Mempelajari Ekosistem Hutan hubungan timbal baik yang terjadi di dalam hutan Mempelajari Struktur dan Fungsi Hutan
  • Materi Pembelajaran Bidang Kehutanan tentang budidaya hutan, konservasi dan manajemen oleh IRWANTO FORESTER
  • Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh pada daerah pasang surut mempunyai banyak fungsi
  • Jalan jalan melihat hutan Indonesia, Indonesia kaya akan sumberdaya alam tapi mengapa masih banyak penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan
Showing posts with label hutan sekunder. Show all posts
Showing posts with label hutan sekunder. Show all posts

Saturday, April 6, 2013

TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN SUKSESI SEKUNDER

Tahap-tahap perkembangan Suksesi Sekunder dapat dijelaskan sebagai berikut :

Fase Permulaan

Setelah penggundulan hutan, dengan sendirinya hampir tidak ada biomasa yang tersisa yang mampu beregenerasi. Tetapi, tumbuhan herba dan semak-semak muncul dengan cepat dan menempati tanah yang gundul.



Fase Awal/Muda

Kurang dari satu tahun, tumbuhan herba dan semak-semak digantikan oleh jenis-jenis pohon pionir awal yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: pertumbuhan tinggi yang cepat, kerapatan kayu yang rendah, pertumbuhan cabang sedikit, daun-daun berukuran besar yang sederhana, relatif muda/cepat mulai berbunga, memproduksi banyak benih-benih dorman ukuran kecil yang disebarkan oleh burung-burung, tikus atau angin, masa hidup yang pendek (7- 25 tahun), berkecambah pada intensitas cahaya tinggi, dan daerah penyebaran yang luas. Kebutuhan cahaya yang tinggi menyebabkan bahwa tingkat kematian pohon-pohon pionir awal pada fase ini sangat tinggi, dan pohon-pohon tumbuh dengan umur yang kurang lebih sama. Walaupun tegakan yang tumbuh didominasi oleh jenis-jenis pionir, namun pada tegakan tersebut juga dijumpai beberapa jenis pohon dari fase yang berikutnya, yang akan tetapi segera digantikan/ditutupi oleh pionir-pionir awal yang cepat tumbuh.

Siklus unsur hara berkembang dengan sangat cepat. Khususnya unsur-unsur hara mineral diserap dengan cepat oleh tanaman-tanaman, sebaliknya nitrogen tanah, fosfor dan belerang pada awalnya menumpuk di lapisan organik (Jordan 1985). Pertumbuhan tanaman dan penyerapan unsur hara yang cepat mengakibatkan terjadinya penumpukan biomasa yang sangat cepat. Dalam waktu kurang dari lima tahun, indeks permukaan daun dan tingkat produksi primer bersih yang dimiliki hutan-hutan primer sudah dapat dicapai. Biomasa daun, akar dan kayu terakumulasi secara berturut-turut. Begitu biomasa daun dan akar berkembang penuh, maka akumulasi biomasa kayu akan meningkat secara tajam. Hanya setelah 5-10 tahun biomasa daun dan akar halus akan meningkat mencapai nilai seperti di hutan-hutan primer. Selama 20 tahun pertama, produksi primer bersih mencapai 12-15 t biomasa/ha/tahun, yang demikian melebihi yang yang dicapai oleh hutan primer yaitu 2-11 t/ha/tahun.

Proses-proses biologi akan berjalan lebih lambat setelah sekitar 20 tahun.Ciri-ciri ini adalah permulaan dari fase ketiga (fase dewasa).



Fase Dewasa

Setelah pohon-pohon pionir awal mencapai tinggi maksimumnya, mereka akan mati satu per satu dan secara berangsur-angsur digantikan oleh pionir-pionir akhir yang juga akan membentuk lapisan pohon yang homogen (Finegan 1992). Secara garis besar, karakteristik-karakteristik pionir-pionir akhir yang relatif beragam dapat dirangkum sebagai berikut: Walaupun sewaktu muda mereka sangat menyerupai pionir-pionir awal, pionir-pionir akhir lebih tinggi, hidup lebih lama (50-100 tahun), dan sering mempunyai kayu yang lebih padat.

Pionir-pionir akhir menggugurkan daun dan memiliki biji/benih yang disebarkan oleh angin, yang seringkali dorman di tanah dalam periode waktu yang sangat lama. Mereka bahkan dapat berkecambah pada tanah yang sangat miskin unsur hara bila terdapat intensitas cahaya yang cukup tinggi. Jenis-jenis pionir akhir yang termasuk kedalam genus yang sama biasanya dijumpai tersebar didalam sebuah daerah geografis yang luas.

Dalam akhir fase, akumulasi biomasa berangsur-angsur mengecil secara kontinyu. Dalam hutan-hutan yang lebih tua, biimasa yang diproduksi hanya 1- 4.5 t/ha/tahun. Setelah 50-80 tahun, produksi primer bersih mendekati nol. Sejalan dengan akumulasi biomasa yang semakin lambat, efisiensi penggunaan unsur-unsur hara akan meningkat, karena sebagian besar dari unsur-unsur hara tersebut sekarang diserap dan digunakan kembali. Sebagai hasil dari keadaan tersebut dan karena adanya peningkatan unsur hara-unsur hara yang non-fungsional pada lapisan organik dan horizon tanah bagian atas, maka konsentrasi unsur-unsur hara pada biomasa menurun (Brown & Lugo 1990). Perputaran kembali unsur hara pada daun-daunan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fase sebelumnya.



Fase klimaks

Pionir-pionir akhir mati satu per satu setelah sekitar 100 tahun (Liebermann & Liebermann 1987) dan berangsur-angsur digantikan oleh jenis-jenis tahan naungan yang telah tumbuh dibawah tajuk pionir-pionir akhir. Jenis-jenis ini adalah jenis-jenis pohon klimaks dari hutan primer, yang dapat menunjukkan ciri-ciri yang berbeda. Termasuk dalam jenis-jenis ini adalah jenis-jenis kayu tropik komersil yang bernilai tinggi dan banyak jenis lainnya yang tidak (belum) memiliki nilai komersil.

Perlahan-lahan suatu kondisi keseimbangan yang stabil (steady-state) mulai terbentuk, dimana tanaman-tanaman yang mati secara terus menerus digantikan oleh tanaman (permudaan) yang baru. Areal basal dan biomasa hutan primer semula dicapai setelah 50-100 tahun (Riswan et al. 1985) atau 150-250 tahun (Saldarriaga et. al. 1988). Setelah itu tidak ada biomasa tambahan yang terakumulasi lagi. Namun, permudaan lubang/celah tajuk yang khas terjadi pada hutan-hutan tropik basah biasanya memerlukan waktu selama 500 tahun (Riswan et al. 1985).

Suksesi standar yang dijelaskan di atas adalah suatu contoh gambaran yang sangat skematis dari proses-proses suksesi yang sangat kompleks dan beragam. Walaupun kebanyakan suksesi mengikuti pola seperti yang dijelaskan di atas, pada kenyataannya di alam beberapa tahap suksesi sering terlampaui, atau berbagai proses suksesi muncul secara bersamaan dalam susunan seperti mosaik. Suatu situasi khusus terjadi, bila permudaan dari jenis pohon klimaks tetap hidup atau terdapat di seluruh areal setelah atau walaupun terjadi gangguan yang menyebabkan penggundulan hutan tersebut. Dalam hal ini, seluruh fase suksesi akan dilalui oleh komunitas tumbuhan tersebut, dan sebagai akibatnya yang terjadi hanyalah perubahan struktur hutan.

Tulisan-Tulisan Berkaitan :
  1. Pengertian Suksesi Hutan
  2. Tahap-Tahap Suksesi
  3. Tipe-Tipe Suksesi
  4. Definisi Suksesi Primer
  5. Definisi Suksesi Sekunder
  6. Suksesi dalam Pengelolaan Hutan
  7. Suksesi dalam Komunitas Hewan
  8. Perkembangan Suksesional Ekosistem
  9. Suksesi Chronosequence dan Suksesi Toposequence
  10. Suksesi Siklis dan Suksesi Direksional (searah)
  11. Suksesi Progresif dan Suksesi Retrogresif
  12. Suksesi Autogenik dan Suksesi Allogenik.
  13. Suksesi Hutan Mangrove Pulau Marsegu
  14. Definisi dan Pengertian Hutan
  15. Klasifikasi Hutan menurut Jenis, Kerapatan dll
  16. Klasifikasi Pohon dalam Sebuah Hutan
  17. Definisi Pohon dan Pohon-Pohon Menakjubkan
  18. Gambar dan Bentuk Pohon Pohon
  19. Manfaat Hutan dalam Perdagangan Karbon
  20. Silvikultur Hutan Alam Tropika
  21. Jenis dan Tipe Hutan di Indonesia
  22. Tipe-tipe Hutan Tropika
  23. Struktur Hutan Hujan Tropika
  24. Faktor-Faktor yang Mengontrol Siklus Hara
  25. Faktor-Faktor Lingkungan dan Pembangunan Hutan
  26. Pengelolaan Hutan Tanaman
  27. Penentuan Kerapatan Tegakan
  28. Metode Penentuan Kerapatan Tegakan
  29. Ruang Tumbuh Kerapatan Tegakan Jarak Antar Pohon
  30. Metode Lain Pengukuran Kerapatan Tegakan
  31. Evaluasi Berbagai Metode Mengukur Kerapatan Tegakan
  32. Keuntungan dan Kerugian Sistem Tebang Habis
  33. Keuntungan dan Kerugian Sistem Tebang Pilih
  34. Proyek Pembuatan Hutan di Gurun Sahara

DAFTAR PUSTAKA
  • Arief, Arifin, (1994), Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
  • Daniel, Theodore. W, John. A. Helms, Frederick S. Baker, (1978), Prinsip-Prinsip Silvikultur (Diterjemahkan oleh Dr. Ir. Djoko Marsono, 1992), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
  • Emrich Anette, Benno Pokorny, Dr, Cornelia Sepp. (2000) Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder Dalam Kebijakan Pembangunan (Penelitian Hutan Tropika). Deutsche Gesellschaft Für Technische Zusammenarbeit (Gtz) Gmbh Postfach 5180 D-65726 Eschborn
  • Marsono, Dj (1991). Potensi dan Kondisi Hutan Hujan Tropika Basah di Indoensia. Buletin Instiper Volume.2. No.2. Institut Pertanian STIPER. Yogyakarta.
  • Schindele, W. (1989): Investigation of the steps needed to rehabilitate the areas of East Kalimantan seriously affected by fire.

Thursday, March 25, 2010

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN HUTAN SEKUNDER

FAKTOR-FAKTOR EKOLOGI

Sebagaimana halnya pada seluruh hutan lainnya, karakteristik-karakteristik dan perkembangan hutan-hutan sekunder juga tergantung pada kondisi-kondisi spesifik pertumbuhannya. Kondisi-kondisi spesifik tersebut mencakup tidak hanya perkembangan dari pertumbuhan riap dan volume tegakan saja, melainkan juga struktur dan komposisi tegakan. Kondisi-kondisi pertumbuhan ini ditentukan oleh pengaruh-pengaruh iklim utama (zona iklim dan vegetasi) dan kondisi-kondisi regional, serta oleh karakteristik-karakteristik dan perkembangan hutan itu sendiri.

  • Kondisi-kondisi tapak

Formasi hutan (vegetasi fase klimaks) yang dimasukkan dalam suatu zona iklim tertentu memberikan petunjuk mengenai ciri-ciri dari suatu hutan sekunder di masa yang akan datang, karena dalam jangka-waktu tertentu hutan sekunder ini akan berkembang kearah vegetasi klimaks -tentu saja apabila tidak ada sumberdaya genetik yang hilang. Setiap benua memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan didalam zona vegetasi yang sama, tergantung pada sejarah perkembangan mereka masing-masing.

Tetapi dimana kondisi tapaknya sama, kelompok-kelompok jenis yang serupa akan terbentuk. Di semua benua, contohnya, jenis-jenis vegetasi dari masing-masing fase suksesi menunjukkan karakteristik-karakteristik yang sama. Namun, proporsi jenis-jenis pohon komersil kadang-kadang sangat berbeda. Sebagai contoh, hutan-hutan dipterokarpa dataran rendah di pulau-pulau Asia Tenggara memiliki lebih banyak jenis-jenis pohon yang bernilai tinggi dibandingkan hutan-hutan tropik lainnya, dan oleh karena itu hutan-hutan tersebut dieksploitasi secara lebih intensif (Kartawinata 1994).

Contoh ini menggambarkan bahwa perbedaan-perbedaan regional juga dapat sangat mempengaruhi perkembangan dan potensi dari hutan-hutan sekunder.

Perbedaan-perbedaan iklim dalam suatu jalur vegetasi (misalnya temperatur dan curah hujan) juga mempengaruhi jalannya suksesi. Di daerah tropik, contohnya, dalam proses penghutanan kembali dari suatu areal yang ditebang habis, coppice memainkan peranan yang semakin penting apabila iklimnya semakin kering dan semakin dingin. Pada sebagian besar hutan-hutan kering yang ditebang, regenerasi yang terjadi hanya melalui coppice dan tunas-tunas akar.

Pada daerah-daerah yang tinggi (pegunungan) di kawasan tropika, fase pionir sama-sekali tidak terjadi dan areal-areal tersebut langsung dikolonisasi dengan jenis-jenis pohon klimaks. Iklim mikro (cahaya, radiasi, angin, temperatur dan kelembaban) didalam suatu zona vegetasi sangat dipengaruhi oleh vegetasi yang tersisa setelah terjadinya gangguan. Hal ini sangat mempengaruhi kondisi-kondisi permudaan. Sebagai contoh, intensitas cahaya yang tinggi serta fluktuasi radiasi dan kelembaban menguntungkan bagi permudaan jenis-jenis pionir awal, sedangkan intensitas cahaya yang rendah diperlukan untuk pertumbuhan jenis pohon klimaks yang tumbuh dibawah naungan tajuk.

Faktor ekologi lainnya yang penting untuk suksesi adalah kesuburan tanah (Finegan 1992). Suksesi berjalan jauh lebih lambat pada tanah-tanah yang miskin unsur hara daripada pada tanah yang kaya unsur hara. Pada tanah-tanah yang sangat miskin akan unsur hara, kolonisasi jenis-jenis pionir awal membutuhkan waktu puluhan tahun lamanya dan terjadi dengan sangat tidak teratur. Walaupun demikian, tanah-tanah yang kurang subur mempunyai potensi yang cukup untuk rekolonisasi, dengan syarat bahwa tidak terjadi degradasi tanah lebih lanjut (Uhl et al. 1988). Tanah-tanah semacam itu seringkali ditumbuhi oleh jenis-jenis pohon berkayu keras yang tumbuh sangat lambat, yang mencirikan jenis-jenis pohon klimaks yang khas pada tapak-tapak tersebut. Semakin miskin tanah, semakin besar pengaruh intervensi-intervensi (gangguan-gangguan) (Sanchez 1976).

Degradasi tanah yang terjadi dapat sedemikian beratnya akibat gangguan-gangguan manusia yang sangat kuat, sehingga proses penghutanan kembali secara alami dapat terhalangi selama beberapa dekade atau bahkan beberapa abad (Corlett 1995).


  • Sumberdaya-sumberdaya permudaan/regenerasi

Disamping kondisi-kondisi abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan hutan sekunder juga tergantung pada komposisi dan kerapatan flora dan fauna yang berhubungan dengan regenerasi. Disini, hal-hal yang penting adalah vegetasi yang tersisa di areal hutan sekunder setelah adanya gangguan, seperti juga jarak dari hutan (misalnya hutan primer) yang (masih) ada.

Kemampuan regenerasi alam yang ada (dalam bentuk coppice, tunas-tunas akar dan biji-biji/benih-benih yang berada di tanah) sangat mempengaruhi jalannya suksesi. Bila potensi regenerasi yang ada habis atau rusak, maka permudaan alam menjadi sangat penting. Dalam hal ini jarak, struktur dan keanekaragaman jenis dari hutan-hutan primer dan sekunder yang lebih tua yang letaknya berdekatan meminkan peranan yang sangat penting. Selain itu, fauna yang masih ada (sebagai media terpenting dalam penyebaran benih-benih dari jenis-jenis pohon klimaks) juga memiliki peranan yang sangat penting. (Corlett 1995). Jika biji/benih tidak dapat disebarkan melalui binatang-binatang, maka permudaan dari jenis-jenis klimaks yang memiliki biji-biji yang berat hanya dapat berlangsung disekitar pohon-pohon induk.






PENGARUH MANUSIA


  • Pemanfaatan Kayu

Penebangan/pengambilan kayu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap flora dan fauna, seperti juga halnya terhadap iklim mikro dan tanah. Fauna dipengaruhi secara tidak langsung dengan rusaknya habitat mereka dan secara langsung melalui perburuan. Besarnya pengaruh/akibat dari pembalakan tergantung pada intensitas dan frekwensinya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak pohon yang ditebang dan semakin luas areal yang diusahakan, maka semakin baik kondisi-kondisi untuk permudaan jenis-jenis pionir awal serta semakin kecil keragaman benih/bibit yang tersedia dan dengan demikian keragaman jenis yang ambil bagian dalam suksesi. Pada saat yang bersamaan, resiko degradasi tanah meningkat sejalan dengan intensitas gangguan. Berdasarkan keadaan tersebut, gradien dampak penebangan dapat ditentukan mulai dari penebangan secara selektif (tebang pilih) sampai ke tebang habis.

  • Tebang Pilih

Pada kegiatan penebangan secara selektif (tebang-pilih) sebagian besar dari keanekaragaman jenis tidak menghilang. Gap-gap yang terjadi akibat penebangan biasanya ditutupi oleh pertumbuhan pohon-pohon disekitarnya. Meskipun demikian, tebang-pilih juga dapat mengakibatkan pemiskinan jenis sampai punahnya satu atau lebih jenis pohon di suatu wilayah. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah dimana jenis-jenis pohon klimaks dengan biji yang berat mempunyai kerapatan yang rendah, atau dimana potensi rekolonisasi tidak ada akibat penggundulan daerah-daerah disekitarnya. Karena pada sistem tebang-pilih hampir semua jenis pohon komersil ditebang, maka potensi ‘ekonomi’ hutan menjadi sangat berkurang dengan semakin sedikitnya keanekaragaman jenis pohon yang masih tersisa.

Tebang-pilih juga sangat melindungi struktur tanah dan ketersediaan unsur hara,yang dengan demikian memungkinkan terjadinya rekolonisasi secara cepat (Corlett 1994). Tanah didekat jalan-jalan logging dapat menjadi sangat rusak akibat pemadatan tanah yang lebih intensif dan erosi yang mungkin terjadi (Johns 1992). Karena itu, dampak-dampak tebang pilih hanya dapat dinilai sepenuhnya, apabila akibat-akibat tidak langsung dari penebangan juga diperhitungkan didalamnya. Contohnya, pembukaan wilayah hutan dalam rangka kegiatan tebang-pilih dan pengambilan kayu-kayu berdiameter besar akan sangat mempermudah pemanfaatan areal selanjutnya untuk tujuan-tujuan lain (misalnya untuk pertanian). Hal ini mengurangi kemungkinan-kemungkinan untuk mengkonservasikan hutan atau menghutankan kembali suatu areal.

Jika tebang-pilih dilakukan di sebuah hutan berulang-kali dalam jangka-waktu yang panjang, maka proporsi jenis-jenis pohon komersil akan berkurang, unsur-unsur hara akan menipis, dan tegakan tersebut akan semakin terbuka. Semua faktor-faktor ini menurunkan kemampuan/kualitas tapak untuk jangka waktu yang lama.

  • Tebang Habis

Dalam sistem tebang-habis, seluruh jenis pohon yang ada ditebang. Struktur tanah dan unsur-unsur hara yang ada dirusak sedemikian rupa sehingga rekolonisasi areal tersebut didominasi oleh jenis-jenis yang berasal dari luar areal tersebut (Corlett 1994). Dalam keadaan seperti ini, ketersediaan, penyebaran dan frekwensi jenis-jenis potensil sangat menentukan proses suksesi yang terjadi.

Sebagai akibat dari eliminasi vegetasi secara total dalam skala besar melalui kegiatan tebang-habis, maka hutan-hutan sekunder yang tumbuh setelah itu pada umumnya miskin akan jenis dan seringkali tidak mempunyai jenis-jenis pohon yang berasal dari komunitas pohon klimaks. Biasanya hanya beberapa jenis pohon pionir yang akan mendominasi areal tersebut, yaitu jenis-jenis yang juga memulai rekolonisasi ga-gap besar dalam hutan-hutan klimaks. Yang ikut menentukan kecepatan dan jalannya suksesi adalah ketersediaan dari dan jaraknya ke sumber-sumber dan penyebar benih/bibit serta adanya coppice dan benih-benih di tanah (tergantung dari jenis pohon, benih-benih tersebut dapat dibawa oleh angin yang kuat sampai beberapa ratus kilometre, atau tinggal di tanah dalam keadaan dorman untuk beberapa tahun lamanya).

Pemadatan tanah yang terjadi akibat penggunaan mesin-mesin berat secara intensif mempunyai dampak negatif dalam jangka-panjang terhadap akumulasi biomasa (Finegan 1992), yang terutama di tanah-tanah miskin memainkan peranan penting sebagai penyimpan unsur-unsur hara (Poels 1982). Pada tanah-tanah yang padat, rekolonisasi memakan waktu yang lebih lama. Areal-areal kosong dan jalan-jalan merupakan titik awal dari erosi, yang terutama pada daerah-daerah lereng dapat menimbulkan terjadinya pengangkutan tanah dalam skala besar. Meningkatnya intensitas pembalakan menyebabkan semakin beratnya degradasi yang terjadi. Pada gangguan-gangguan yang terjadi dalam skala besar, erosi tanah dan pencucian unsur-unsur hara memainkan peranan yang semakin penting.

Perbedaan antara tebang-pilih dan tebang-habis menjadi semakin tidak jelas apabila hutan-hutan tersebut semakin sering ditebang atau tidak ditebang seluruhnya dalam sistem tebang-habis. Setiap batang pohon yang ditinggalkan mempunyai efek yang positif terhadap kecepatan rekolonisasi dan komposisi jenis dari hutan yang baru (Fedlmeier 1996).



  • Kebakaran

Kebakaran yang biasa terjadi di daerah-daerah dengan periode kering yang jelas memperbesar dampak-dampak dari tebang-habis seperti yang dipaparkan di atas. Api/kebakaran mengurangi lebih lanjut potensi permudaan yang ada dengan memusnahkan tanaman-tanaman muda yang masih hidup dan mengurangi kemampuan pohon-pohon untuk bertunas (coppice).

Kebakaran yang terjadi berulang-kali bahkan dapat menyebabkan degradasi secara permanen dengan memusnahkan kemampuan akar dan batang untuk bertunas serta kemampuan benih-benih jenis-jenis pohon pionir yang berada di tanah untuk berkecambah. Di daerah-daerah tropik beriklim sedang, kebakaran yang terjadi berulang-kali dapat menyebabkan terjadinya suksesi kearah pembentukan formasi vegetasi dengan jenis-jenis yang tahan api.

Peningkatan persediaan unsur-unsur hara yang terjadi setelah adanya kebakaran dapat berlangsung sampai 3 tahun lamanya. Persediaan total unsur hara selalu berkurang melalui proses-proses pencucian dan konversi. Selain itu, erosi dan dan pemadatan tanah juga memainkan peranan penting. Tingkat degradasi yang terjadi akibat kebakaran tergantung tidak hanya dari karakteristik-karakteristik tanah serta kondisi-kondisi mikro dan makro dari tapak (kelerengan, posisi pada lereng, curah hujan, temperatur), melainkan juga khususnya dari macam dan besarnya gangguan.



  • Pertanian

Tebang pilih, tebang habis dan/atau kebakaran seringkali merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum dilakukannya pemanfaatan lahan untuk pertanian. Karena itu, seluruh dampak/efek yang telah dijelaskan di atas juga berlaku untuk pemanfaatan lahan untuk pertanian. Budidaya pertanian skala kecil saja sudah dapat sangat mengurangi potensi permudaan melalui pemusnahan tanaman-tanaman muda yang ada dan penurunan kemampuan untuk bertunas dari batang-batang yang ada (coppice) (Corlett 1995). Oleh sebab itu, rekolonisasi areal tersebut tergantung sepenuhnya dari vegetasi yang berada disekitarnya.

Apabila perkembangan hutan sekunder terjadi setelah adanya pemanfaatan wanatani (misalnya penanaman pohon untuk menaungi tanaman kopi atau untuk memenuhi kebutuhan subsisten pertanian, yang biasanya mempunyai bentuk batang yang jelek dan volume kayu yang kecil), maka pohon-pohon yang ditanam dalam rangka kegiatan wanatani seringkali menentukan komposisi jenis pada fase awal suksesi.

Didalam ruang-lingkup sistem-sistem tradisional perladangan berpindah, komposisi jenis dari hutan-hutan yang kemudian berkembang sangat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan yang dilakukan, yaitu mulai dari penanaman pohon-pohon buah berumur panjang sampai pada pengmebangan komunitas-komunitas suksesi secara buatan.

Karena lahan-lahan yang produktif/subur biasanya digunakan untuk kegiatan pertanian, maka hutan-hutan biasanya tumbuh diatas lahan-lahan marjinal yang kurang menarik untuk pertanian. Lahan-lahan marjinal ini bahkan seringkali digunakan untuk pertanian, contohnya dalam sistem-sistem perladangan berpindah. Budidaya (pertanian) menyebabkan mobilitas unsur hara yang lebih tinggi. Namun, vegetasi yang ada tidak mampu menyerap dengan cepat unsur-unsur hara yang dilepaskan. Sebagai akibatnya terjadi pencucian unsur-unsur hara dan pengangkutan (erosi) tanah, yang khususnya terjadi pada intervensi (kegiatan pertanian) skala-besar dan pada kondisi-kondisi tapak yang sensibel.

Degradasi ini sangat memperlambat jalannya suksesi. Contohnya, areal-areal yang diteliti di Venezuela, yang tidak digunakan untuk kegiatan pertanian, mempunyai jenis-jenis kayu tiga kali lipat banyaknya, tutupan hutan yang lebih rapat, dan biomasa 30% lebih banyak dari areal-areal yang digunakan untuk kegiatan pertanian lima tahun sebelumnya. Tingkat degradasi yang terjadi tergantung dari intensitas dan lamanya pemanfaatan. Pemanfaatan pertanian yang lama tanpa menggunakan pupuk dapat memperburuk kondisi-kondisi tanah dengan sangat cepat. Contohnya, tanda-tanda defisiensi unsurunsur hara pada tanah-tanah Oxisol dan Ultisol yang miskin serta pada beberapa tanah vulkanik (Mazzorino et al. 1988) sudah mulai kelihatan dalam waktu kurang dari 5 tahun. Setelah 8 tahun, tingkat pertukaran aluminium sampai 100% sudah dapat diukur (Sanchez et al. 1983). Berlawanan dengan tapak-tapak yang hanya sedikit dimanfaatkan, pada tanah-tanah/tapak-tapak tersebut tidak terdapat lagi P, K, Ca atau Mg dalam konsentrasi yang signifikan.

Di daerah-daerah tropik, pemanfaatan lahan untuk pertanian dalam jangka waktu lebih dari 5 tahun menyebabkan degradasi lahan yang berat. Permudaan dari banyak jenis pohon akan terhambat, karena potensi permudaan yang ada dirusak melalui pengolahan tanah, atau karena terjadinya perubahan radikal dari komposisi mycorrhizae yang sangat menentukan kemampuan pohon untuk berkompetisi. Budidaya pertanian yang lebih lama dan lebih sering serta degradasi yang diakibatkannya dapat menyebabkan terbentuknya fase semi-klimaks yang sangat berbeda dari hutan aslinya (Corlett 1995). Bambu (Whitemore 1984), rumput Imperata (Kartawinata 1994) atau padang alang-alang (Amerika Tengah) dapat mencegah terbentuknya hutan kembali dalam jangka-waktu yang tidak terbatas. Dalam kasus-kasus yang ekstrim, perubahan-perubahan semacam ini dapat menyebabkan terbentuknya formasi semak-belukar yang permanen.


  • Peternakan/penggembalaan di padang rumput

Padang rumput selalu ditinggalkan bila kondisi-kondisi yang ada tidak lagi menunjang kegiatan penggembalaan. Kedalam kondisi-kondisi ini termasuk pengambilan kembali hak-hak penggunaan lahan, masalah-masalah yang menyangkut kesehatan ternak, serta keterbatasan ekonomi yang menyebabkan peternakan tidak menguntungkan lagi dan menurunnya kesuburan tanah. Potensi permudaan yang masih ada (setelah tebang-habis) untuk berkecambah bertahan lebih lama apabila lahan tersebut digunakan untuk penggembalaan ternak dibandingkan dengan apabila lahan tersebut digunakan untuk budidaya tanaman pertanian.

Selain itu, setelah digunakan untuk penggembalaan lahan, tersebut memiliki lebih banyak bahan organik dibandingkan dengan, contohnya, setelah digunakan sebagai perkebunan kopi. Bahkan, lahan penggembalaan sering mempunyai bahan organik yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan primer. Walaupun demikian, padang rumput dapat merupakan penghambat langsung atau tidak langsung untuk suksesi hutan, karena padang rumput menjadi habitat bagi hewan-hewan pemakan biji, menyaingi tanaman-tanaman kayu dalam pemanfaatan unsur-unsur hara, memperbesar defisit air pada musim kering, dan memperbesar risiko terjadinya kebakaran.

Dilain pihak, padang rumput di dataran-dataran rendah tropik basah dan tropik beriklim sedang kebanyakan akan menghilang, kecuali apabila terjadi kebakaran secara periodik (Goldammer 1995). Erosi dan pemadatan tanah pada lahan-lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian lebih tinggi dibandingkan pada lahan-lahan yang ditutupi/ditumbuhi oleh rumput secara permanen.

Baca Selanjutnya :


Tulisan-Tulisan Berkaitan :
  1. Definisi dan Pengertian Hutan
  2. Klasifikasi Hutan menurut Jenis, Kerapatan dll
  3. Klasifikasi Pohon dalam Sebuah Hutan
  4. Definisi Pohon dan Pohon-Pohon Menakjubkan
  5. Gambar dan Bentuk Pohon Pohon
  6. Manfaat Hutan dalam Perdagangan Karbon
  7. Silvikultur Hutan Alam Tropika
  8. Jenis dan Tipe Hutan di Indonesia
  9. Tipe-tipe Hutan Tropika
  10. Struktur Hutan Hujan Tropika
  11. Faktor-Faktor yang Mengontrol Siklus Hara
  12. Faktor-Faktor Lingkungan dan Pembangunan Hutan
  13. Pengelolaan Hutan Tanaman
  14. Penentuan Kerapatan Tegakan
  15. Metode Penentuan Kerapatan Tegakan
  16. Ruang Tumbuh Kerapatan Tegakan Jarak Antar Pohon
  17. Metode Lain Pengukuran Kerapatan Tegakan
  18. Evaluasi Berbagai Metode Mengukur Kerapatan Tegakan
  19. Keuntungan dan Kerugian Sistem Tebang Habis
  20. Keuntungan dan Kerugian Sistem Tebang Pilih
  21. Proyek Pembuatan Hutan di Gurun Sahara


DAFTAR PUSTAKA
  • Arief, Arifin, (1994), Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
  • Daniel, Theodore. W, John. A. Helms, Frederick S. Baker, (1978), Prinsip-Prinsip Silvikultur (Diterjemahkan oleh Dr. Ir. Djoko Marsono, 1992), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
  • Emrich Anette, Benno Pokorny, Dr, Cornelia Sepp. (2000) Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder Dalam Kebijakan Pembangunan (Penelitian Hutan Tropika). Deutsche Gesellschaft Für Technische Zusammenarbeit (Gtz) Gmbh Postfach 5180 D-65726 Eschborn
  • Marsono, Dj (1991). Potensi dan Kondisi Hutan Hujan Tropika Basah di Indoensia. Buletin Instiper Volume.2. No.2. Institut Pertanian STIPER. Yogyakarta.
  • Schindele, W. (1989): Investigation of the steps needed to rehabilitate the areas of East Kalimantan seriously affected by fire.


DEFINISI HUTAN SEKUNDER

Istilah ’Hutan Sekunder’ telah digunakan didalam nomenklatur ilmiah paling tidak sejak tahun 1950-an (Richards 1955, Greigh-Smith 1952). Walaupun akhir-akhir ini istilah tersebut semakin sering digunakan, namun istilah ini masih belum biasa dipakai di banyak negara. Di negara-negara tersebut, hutan-hutan yang terdiri dari jenis-jenis pohon lokal biasanya didefinisikan sebagai hutan atau hutan alami, tanpa mempedulikan apakah hutan tersebut merupakan hutan primer, hutan bekas tebangan, atau hutan hasil regenerasi. Karena itu, istilah hutan sekunder dapat mempunyai arti yang sangat berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena istilah ’hutan sekunder’, sebagai padanan dari istilah ’hutan primer’, menimbulkan asosiasi-asosiasi langsung yang subyektif, yang sulit untuk dibuat sistematikanya.

FAO tidak menggunakan sama-sekali istilah ’hutan sekunder’. Sebagai gantinya, dalam publikasi-publikasi FAO digunakan terminologi-terminologi yang berbeda, yang lebih-kurang dapat dipandang sebagai sinonim untuk berbagai formasi hutan sekunder. Pada tahun 1996, FAO mendefinisikan 4 macam hutan berdasarkan kerapatan tajuknya (hutan tertutup / closed forest dan hutan terbuka / open forest), serta bentuk perusakannya melalui perladangan berpindah (long fallow) dan faktor-faktor lainnya yang tidak dirinci lebih lanjut (fragmented forest). Hanya hutan tertutup (closed forest) yang digambarkan sebagai hutan alam yang tidak terganggu secara ekologi, dan karenanya didalam studi ini dianggap sama dengan hutan primer.

Definisi-definisi yang diberikan mengenai ”Hutan Sekunder” dilihat dari ciri dan berbagai faktor pembentukannya adalah sebagai berikut :

  • Lamprecht (1986)

Hutan sekunder adalah fase pertumbuhan hutan dari keadaan tapak gundul, karena alam ataupun antropogen, sampai menjadi klimaks kembali.

Tidak benar bahwa hutan sekunder tidak alami lagi, yang benar istilahnya adalah “Hutan Alam Sekunder” untuk membedakannya dari hutan alam primer Sifat-sifat hutan sekunder :

  1. Komposisi dan struktur tidak saja tergantung tapak namun juga tergantung pada umur.
  2. Tegakan muda berkomposisi dan struktur lebih seragam dibandingkan hutan aslinya.
  3. Tak berisi jenis niagawi. Jenis-jenis yang lunak dan ringan, tidak awet, kurus, tidak laku.
  4. Persaingan ruangan dan sinar yang intensif sering membuat batang bengkok. Jenis-jenis cepat gerowong.
  5. Riap awal besar, lambat laun mengecil.
  6. Karena struktur, komposisi dan riapnya tidak akan pernah stabil, sulit merencanakan pemasaran hasilnya.

  • Brown & Lugo (1990)

Hutan-hutan sekunder “terbentuk sebagai suatu konsekensi dari dampak manusia terhadap kawasan-kawasan hutan” Hutan-hutan yang terbentuk sebagai suatu konsekensi dari pengaruh manusia, biasanya setelah adanya kegiatan pertanian di areal-areal hutan yang ditebang-habis, tidak termasuk disini. Dalam konteks ini, hutan-hutan sekunder merupakan suatu komponen penting dari perladangan berpindah.

  • Catterson (1994)

Suatu bentuk hutan dalam proses suksesi yang mengkolonisasi areal-areal yang sebelumnya rusak akibat sebab-sebab alami atau manusia, dan yang suksesinya tidak dipengaruhi oleh vegetasi asli disekitarnya karena luasnya areal yang rusak. Bentuk-bentuk formasi vegetasi berikut ini dapat terbentuk: lahan kosong / padang-padang rumput buatan / areal areal bekas-tebangan baru / areal-areal bekas tebangan yang lebih tua.

  • Corlett (1994)

Ciri-ciri utama dari hutan-hutan sekunder adalah terjadinya interupsi dari penutupan hutan yang kontinyu, ketergantungan dari luar dalam pembentukan hutan kembali, dan kenyataan bahwa ciri-ciri ini dapat dikenali pada struktur dan/atau komposisi vegetasi hutan. Pendefinisian hutan-hutan sekunder seperti biasanya adalah suatu masalah bagaimana menarik garis batas didalam suatu selang/skala.

  • Parlemen Jerman (1990)

Hutan-hutan sekunder mencakup semua tahapan suksesi yang terjadi pada areal-areal yang kosong akibat sebab-sebab alami atau kegiatan manusia.

  • FAO (1993)

Setelah adanya perubahan dari bentuk pemanfaatan lahan yang terkait dengan pengurangan penutupan pohon dibawah 10% (penggundulan hutan), hutan sekunder akan terbentuk apabila areal tersebut ditinggalkan tanpa gangguan.

  • Finegan (1992)

„...didefinisikan sebagai vegetasi berkayu yang berkembang/tumbuh diatas lahan yang ditinggalkan sebelumnya setelah vegetasi aslinya dirusak akibat kegiatan manusia.“

  • Greigh-Smith (1952)

Pertumbuhan kembali setelah tebang-habis.


  • Huss (1996)

Setelah hutan-hutan alam atau sisa-sisa hutan alam terdegradasi akibat kegiatan tebang pilih atau pembalakan kayu yang tak terkontrol, hutan-hutan sekunder berkembang dari benih pohon-pohon pionir, coppice dari sisa-sisa (tunggul) pohon, atau melalui regenerasi jenis-jenis pohon klimaks, selama proses tersebut tidak diganggu. Karena itu hutanhutan yang terdegradasi dan hutan-hutan sekunder tidak dapat dibedakan secara jelas. Hutan-hutan sekunder seringkali membentuk mosaik mosaik kecil dari komunitas hutan serta fase-fase degradasi dan regenerasi yang sulit dipilah-pilah.

  • Kaffka (1990)

Hutan-hutan bekas tebangan yang kemudian dibiarkan tanpa gangguan-gangguan dapat berkembang menjadi hutan sekunder.

  • Lanly (1982)

Hutan-hutan sekunder yang berusia lebih dari 60-80 tahun diklasifikasikan sebagai hutan-hutan yang belum terjamah atau hutan-hutan primer. Hutan-hutan sekunder atau hutan bera adalah sebuah mosaik dari areal-areal yang digunakan untuk kegiatan pertanian, hutan-hutan yang belum terjamah dan hutan-hutan dengan umur yang berbeda-beda, yang terdiri dari komposisi vegetasi yang berkembang/tumbuh setelah adanya tebang-habis dari formasi-formasi hutan tertutup atau terbuka.

  • Sips et al. (1993)

„...bentuk dari hutan hujan tropik yang berada pada tahapan rekonstruksi yang suksesif setelah terjadinya penggundulan total akibat gangguan-gangguan alam dan/atau manusia, dan dimana intensitas, ukuran, dan lamanya gangguan yang terjadi meminimalkan bahwa pengaruh dari vegetasi disekelilingnya terhadap proses regenerasi.“ (...„regenerasi secara autogen“ oleh vegetasi hutan disekelilingnya diminimalkan).

  • UNESCO (1978)

Vegetasi yang mengkolonisasi areal-areal, dimana sebagian atau seluruh vegetasi asli telah menghilang akibat gangguan-gangguan alam atau manusia.


  • Weaver and Birdsey (1986)

Hutan-hutan yang merupakan hasil dari lahan pertanian atau penggembalaan/peternakan yang ditinggalkan, dan hutan-hutan yang merupakan hasil regenerasi dari kawasan hutan yang sebelumnya ditebang-habis atau terganggu.


  • WWF (1988)

Hutan-hutan yang diperbaharui secara substansial akibat intervensi manusia.


Tulisan-Tulisan Berkaitan :
  1. Definisi Suksesi
  2. Definisi Suksesi Primer
  3. Definisi Suksesi Sekunder
  4. Definisi Habitat
  5. Definisi Homoestatis
  6. Definisi Ekotipe
  7. Pengertian Ekosistem
  8. Pengertian Lingkungan
  9. Pencemaran Lingkungan
  10. Ekologi
  11. Ekologi Hutan
  12. Parasit
  13. Predator
  14. Pemangsaan
  15. Heterogenitas Ruang
  16. Persaingan
  17. Definisi dan Pengertian Hutan
  18. Klasifikasi Hutan menurut Jenis, Kerapatan dll
  19. Klasifikasi Pohon dalam Sebuah Hutan
  20. Definisi Pohon dan Pohon-Pohon Menakjubkan
  21. Gambar dan Bentuk Pohon Pohon
  22. Manfaat Hutan dalam Perdagangan Karbon
  23. Silvikultur Hutan Alam Tropika
  24. Jenis dan Tipe Hutan di Indonesia
  25. Tipe-tipe Hutan Tropika
  26. Struktur Hutan Hujan Tropika
  27. Faktor-Faktor yang Mengontrol Siklus Hara
  28. Faktor-Faktor Lingkungan dan Pembangunan Hutan
  29. Pengelolaan Hutan Tanaman
  30. Penentuan Kerapatan Tegakan
  31. Metode Penentuan Kerapatan Tegakan
  32. Ruang Tumbuh Kerapatan Tegakan Jarak Antar Pohon
  33. Metode Lain Pengukuran Kerapatan Tegakan
  34. Evaluasi Berbagai Metode Mengukur Kerapatan Tegakan
  35. Keuntungan dan Kerugian Sistem Tebang Habis
  36. Keuntungan dan Kerugian Sistem Tebang Pilih
  37. Proyek Pembuatan Hutan di Gurun Sahara

DAFTAR PUSTAKA
  • Arief, Arifin, (1994), Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
  • Daniel, Theodore. W, John. A. Helms, Frederick S. Baker, (1978), Prinsip-Prinsip Silvikultur (Diterjemahkan oleh Dr. Ir. Djoko Marsono, 1992), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
  • Emrich Anette, Benno Pokorny, Dr, Cornelia Sepp. (2000) Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder Dalam Kebijakan Pembangunan (Penelitian Hutan Tropika). Deutsche Gesellschaft Für Technische Zusammenarbeit (Gtz) Gmbh Postfach 5180 D-65726 Eschborn
  • Marsono, Dj (1991). Potensi dan Kondisi Hutan Hujan Tropika Basah di Indoensia. Buletin Instiper Volume.2. No.2. Institut Pertanian STIPER. Yogyakarta.
  • Schindele, W. (1989): Investigation of the steps needed to rehabilitate the areas of East Kalimantan seriously affected by fire.

DEFINISI TENTANG HUTAN :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

KERUSAKAN HUTAN