• Belajar membuat blog dan website mendapat dollar dari Google Adsense
  • Mempelajari Proses Biokimia yang terjadi di dalam pohon, mengetahui bagaimana pohon itu tumbuh
  • Menanam dan memelihara pohon untuk kesejanteraan
  • Mempelajari Ekosistem Hutan hubungan timbal baik yang terjadi di dalam hutan Mempelajari Struktur dan Fungsi Hutan
  • Materi Pembelajaran Bidang Kehutanan tentang budidaya hutan, konservasi dan manajemen oleh IRWANTO FORESTER
  • Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh pada daerah pasang surut mempunyai banyak fungsi
  • Jalan jalan melihat hutan Indonesia, Indonesia kaya akan sumberdaya alam tapi mengapa masih banyak penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan

Friday, April 8, 2011

Tips Membuat Jinak Satwa Liar



Hanya segelintir spesies hewan liar yang berhasil dibiakkan sebagai hewan peliharaan. Penyebabnya, menurut para ilmuwan, terletak dalam gennya.

"Halo! Apa kabar?" ujar Lyudmila Trut, sambil menjangkau ke bawah untuk membuka selot pintu kandang kawat berlabel "Mavrik". Kami berdiri di antara dua baris panjang kandang seragam di sebuah peternakan tak jauh di luar kota Novosibirsk, Siberia selatan, dan sapaan pakar biologi berumur 76 tahun itu tidak ditujukan kepada saya tetapi kepada penghuni kandang itu yang berbulu. Walaupun saya tidak bisa berbahasa Rusia, saya mengenali nada sayang dalam suaranya yang digunakan pemilik anjing saat berbicara kepada peliharaannya.

Mavrik, objek perhatian Trut, seukuran anjing gembala Shetland, dengan bulu jingga sarangan dan oto putih di bagian depan tubuhnya. Dia membalas dengan memainkan perannya: mengibaskan ekor, berguling-guling, mendengus penuh semangat karena dikunjungi. Di kandang lain yang berjajar di kedua sisi bangsal sempit tak berdinding itu, puluhan Canidae melakukan hal yang sama, menyalak riuh rendah tak terkendali. "Seperti yang kita lihat," ujar Trut di tengah hiruk-pikuk itu, "semuanya ingin dekat dengan manusia." Namun, hari ini Mavriklah yang beruntung. Trut menjulurkan tangan dan mengangkatnya, lalu menyerahkannya kepada saya. Hewan yang saya gendong dan menggigit tanganku dengan lembut itu sama jinaknya dengan anjing-piaraan kecil mana pun.

Tetapi, Mavrik sebetulnya sama sekali bukan anjing. Dia rubah. Tersembunyi di lahan yang tak terawat ini, di tengah hutan pohon perak dan terkungkung gerbang besi berkarat, ia dan beberapa ratus anggota keluarganya merupakan populasi rubah perak domestikasi satu-satunya di dunia. (Kebanyakan memang berbulu perak atau abu-abu gelap; bulu Mavrik yang berwarna sarangan jarang ada.) Dan yang saya maksud "domestikasi" bukanlah ditangkap kemudian dijinakkan, atau dibesarkan oleh manusia dan kemudian melalui makanan belajar menenggang belaian manusia sesekali. Yang saya maksud adalah dibiakkan untuk menjadi peliharaan, sejinak kucing atau anjing peliharaan Anda. Bahkan, ujar Anna Kukekova, peneliti Cornell yang mempelajari rubah, "bagi saya hewan ini sangat mirip dengan golden retriever, yang pada dasarnya tidak tahu bahwa ada orang baik, orang jahat, orang yang pernah mereka temui sebelumnya, dan orang yang belum pernah mereka temui." Rubah ini memperlakukan semua manusia sebagai calon teman, sebuah perilaku yang merupakan hasil percobaan pemuliaan yang dianggap sebagian pihak paling luar biasa.

Ini dimulai lebih dari setengah abad lalu, ketika Trut masih mahasiswa pascasarjana. Dipimpin seorang ahli biologi bernama Dmitry Belyaev, para peneliti di Lembaga Sitologi dan Genetika tak jauh dari situ mengumpulkan 130 rubah dari peternakan kulit bulu. Mereka kemudian membiakkannya dengan tujuan menciptakan-ulang evolusi serigala menjadi anjing, transformasi yang mulai terjadi lebih dari 15.000 tahun yang lalu.

Pada setiap generasi kirik rubah, Belyaev dan rekan-rekannya menguji reaksinya terhadap kontak manusia, memilih yang paling ramah untuk pembiakan generasi selanjutnya. Pada pertengahan 1960-an, eksperimen itu berhasil melebihi yang dapat dibayangkannya. Mereka menghasilkan rubah seperti Mavrik, yang bukan hanya tidak takut terhadap manusia, tetapi berusaha menjalin kedekatan dengan manusia. Timnya bahkan mengulangi kesuksesan percobaan itu pada dua spesies lain, musang dan tikus. "Satu hal penting yang ditunjukkan Belyaev adalah skala waktu," ujar Gordon Lark, pakar biologi University of Utah yang meneliti genetika anjing. "Jika Anda memberi tahu saya bahwa rubah itu mendekat untuk mengendus Anda di bagian depan kandang, saya akan berkata itulah yang saya perkirakan. Namun, bahwa hewan itu bisa akrab dengan manusia sedemikian cepat... wow."

Ajaibnya, Belyaev berhasil memampatkan domestikasi ribuan tahun menjadi hanya beberapa tahun. Tetapi, dia tidak hanya ingin membuktikan bahwa dia dapat membuat rubah yang ramah. Dia merasa bahwa dia bisa menggunakannya untuk memecahkan misteri domestikasi pada tingkat molekuler. Hewan domestikasi diketahui memiliki seperangkat karakteristik yang sama, fakta yang didokumentasikan Darwin dalam The Variation of Animals and Plants Under Domestication. Hewan peliharaan cenderung lebih kecil, dengan telinga lebih terkulai dan ekor yang lebih melingkar daripada nenek moyangnya yang liar. Ciri-ciri tersebut cenderung membuat hewan itu tampak muda di mata manusia. Kadang-kadang ada yang berbulu belang—piebald, istilah ilmiahnya—sementara bulu nenek moyangnya yang liar berwarna polos. Ciri ini serta yang lainnya, kadang disebut sebagai fenotipe domestikasi, muncul dalam berbagai tingkatan pada banyak spesies, mulai dari anjing, babi, dan sapi hingga beberapa hewan bukan mamalia seperti ayam, dan bahkan beberapa jenis ikan.

Belyaev menduga bahwa saat rubah menjadi hewan peliharaan, hewan ini mungkin juga mulai menunjukkan ciri fenotipe domestikasi. Dia benar lagi: Pemilihan rubah yang akan dibiakkan dengan hanya berdasarkan pada sikap hewan terhadap manusia sepertinya juga mengubah penampilan fisiknya di samping perilakunya. Hanya dalam sembilan generasi, para peneliti mencatat kirik rubah lahir dengan telinga terkulai. Pola belang-belang muncul di kulitnya. Pada saat itu rubah sudah mulai merengek dan mengibaskan ekornya sebagai respons terhadap kehadiran manusia, perilaku yang tidak pernah terlihat pada rubah liar.

Sumber perubahan tersebut, menurut Belyaev, adalah kumpulan gen yang memberi kecenderungan untuk jinak—genotipe yang mungkin dimiliki oleh semua spesies yang dapat dijinakkan. Di peternakan rubah ini, Kukekova dan Trut sedang mencari gen-gen tersebut. Di tempat lain, para peneliti menganalisis DNA babi, ayam, kuda, dan spesies peliharaan lainnya, berusaha mengenali perbedaan genetik yang membedakan hewan itu dengan nenek moyangnya. Riset ini, dipercepat oleh kemajuan pengurutan genom cepat terbaru, bertujuan menjawab pertanyaan biologi mendasar: "Bagaimana terjadinya transformasi besar dari hewan liar menjadi hewan peliharaan?" ucap Leif Andersson, profesor biologi genom di Uppsala Universitet, Swedia. Jawabannya akan membantu kita memahami bukan hanya hewan peliharaan, tetapi juga bagaimana manusia menjinakkan sisi liarnya.


Sumber : http://nationalgeographic.co.id

Ambisi Bangsa Inca Begitu Dahsyat

gallery

Bangkit menyeruak dari ketakberdayaan menuju kedigdayaan, para raja Andes menaklukan sejumlah kerajaan kecil, menatah pegunungan, dan membangun kerajaan yang perkasa.


Di Pulau Taquile yang terpencil di Peru, di tengah Danau Titicaca yang indah , ratusan orang berdiri dalam keheningan di alun-alun tatkala seorang pastor Katolik Roma memanjatkan doa. Sebagai keturunan orang-orang yang dikirim ke situ oleh penjajah Inca lebih dari 500 tahun yang silam, penduduk Taquile masih menjalani gaya hidup tradisional suku Inca. Mereka menenun kain berwarna cemerlang, berbicara dalam bahasa tradisional Inca, dan menangani ladang sebagaimana yang biasa dilakukan leluhur mereka selama berabad-abad. Pada hari-hari festival, mereka berkumpul di alun-alun untuk menari diiringi suara seruling dan tabuhan tambur.

Pada hari itu, di suatu siang yang nyaman di musim panas, sebagai orang luar, saya menonton mereka yang merayakan festival Santiago, atau festival St. James. Pada zaman Inca dahulu, festival ini pastilah festival Illapa, dewa halilintar Inca. Di saat upacara doa sudah hampir selesai, empat orang pria berbaju hitam mengangkat tandu kayu buatan tangan yang mengusung patung Santiago yang dilukis. Pengusung tandu mengusung patung orang suci itu agar terlihat dari seluruh penjuru alun-alun, sama seperti di masa lalu tatkala suku Inca memanggul mumi para raja yang mereka hormati.

Berabad-abad setelah mereka wafat, nama para raja Inca itu masih meninggalkan kesan digdaya dan berambisi: Viracocha Inca (Penguasa Dewa Pencipta), Huascar Inca (Penguasa Rantai Emas), dan Pachacutec Inca Yupanqui (Pencipta Ulang Dunia). Dinasti raja Inca yang bangkit dari keterpurukan di Lembah Cusco, Peru pada abad ke-13 telah memikat, menyuap, mengintimidasi, atau menaklukkan semua pesaing mereka guna menciptakan kerajaan pra-Columbia terbesar di Dunia Baru.

Untuk waktu yang lama para ilmuwan tidak tahu banyak tentang kehidupan para raja Inca, selain aneka kisah sejarah muluk-muluk yang oleh para bangsawan Inca dikisahkan tidak lama setelah tibanya penjajah Spanyol. Suku Inca tidak memiliki sistem huruf hieroglif, seperti yang dimiliki suku Maya, dan gambar para raja yang dilukis para seniman Inca pun sudah lenyap. Istana kerajaan Cusco, ibukota Inca, dengan cepat jatuh ke tangan para penakluk dari Eropa, dan sebuah kota kolonial Spanyol yang baru dibangun di atas reruntuhannya, sehingga mengubur atau menghancurkan peninggalan masa lalu suku Inca. Pada masa yang lebih kini, terjadi kerusuhan sipil di kawasan Andes Peru pada awal 1980-an, dan hanya sedikit ahli arkeologi berani memasuki daerah pedalaman Inca selama lebih dari satu dasawarsa.


Sekarang para ahli arkeologi berupaya keras meneliti kawasan itu. Saat meneliti lereng pegunungan di dekat Cusco, mereka menemukan ribuan situs yang sebelumnya tidak dikenal, sehingga berhasil menggali informasi baru tentang asal-usul dinasti Inca. Dengan mengumpulkan sedikit-sedikit petunjuk dari dokumen masa penjajahan, mereka berhasil menemukan lokasi wilayah kekuasaan para raja Inca yang pernah tak dikenali itu dan mengkaji hubungan yang rumit antara para raja dan para abdi dalam lingkungan rumah tangga. Sementara itu, di garis depan kerajaan yang hilang itu, para ahli arkeologi berhasil menata kembali kepingan bukti dramatis tentang pertempuran yang dikobarkan para raja Inca serta pertempuran psikologis yang mereka lancarkan untuk memaksa puluhan kelompok etnis yang saling curiga menjadi satu kerajaan yang padu. Kemampuan mereka yang luar biasa untuk meraih kemenangan di medan perang dan membangun suatu peradaban, secara bertahap, merupakan isyarat yang amat jelas, kata Dennis Ogburn, ahli arkeologi di University of North Carolina at Charlotte: “Sepertinya mereka berkata, Kamilah kelompok yang paling berkuasa di dunia, jadi jangan sekali-kali berani menantang kami.”

Suatu siang yang benderang di bulan Juli, Brian Bauer, ahli arkeologi dari University of Illinois at Chicago, berdiri di alun-alun yang luas di situs upacara suku Inca di Maukallacta, bagian selatan Cusco. Dia minum dari botol airnya, kemudian menunjuk ke tonjolan batu abu-abu yang menjulang tinggi, tidak jauh ke arah timur. Tampak tangga batu berukuran besar-besar tertatah di puncaknya yang bergerigi, bagian dari kuil Inca yang penting. Sekitar 500 tahun yang silam, kata Bauer, para peziarah berdatangan ke kawasan ini untuk melakukan pemujaan di tonjolan batu yang curam, yang di masa lalu dipandang sebagai salah satu tempat paling keramat di kerajaan itu: tempat kelahiran dinasti Inca.

Bauer, pria 54 tahun yang bertubuh langsing, namun berotot, bertopi pet usang dan celana jins biru, pertama kali mengunjungi Maukallacta pada awal 1980-an untuk meneliti asal-usul Kerajaan Inca. Pada saat itu, kebanyakan ahli sejarah dan ahli arkeologi percaya bahwa Alexander Agung Andes yang cemerlang dan masih muda bernama Pachacutec menjadi Raja Inca yang pertama pada awal 1400-an. Dia mengubah sekumpulan kecil rumah gubug dari tanah menjadi sebuah kerajaan hebat semasa hidupnya. Bauer tidak memercayainya. Dia yakin bahwa dinasti Inca memiliki asal-usul yang jauh lebih tua, dan Maukallacta tampaknya merupakan tempat yang masuk akal untuk mencarinya. Dia sungguh kecewa ketika penggalian selama dua musim panas tidak memberikan bukti apa pun tentang para raja Inca yang hidup lebih awal daripada masa Pachacutec.


Sumber : http://nationalgeographic.co.id

Gempa Jepang Bikin Poros Bumi Bergeser 25 cm

Temuan awal Lembaga Vulkanologi dan Geofisika Italia atau Italy's National Institute of Geophysics and Volcanolog (INGV) menunjukkan bahwa gempa bermagnitude 9 yang terjadi di Jepang, Jumat (11/3-2011), mengakibatkan pergerseran sumbu Bumi sekitar 25 sentimeter.

Kenapa bisa bergeser dan apakah pergeseran ini berpengaruh terhadap kondisi Bumi di masa depan? Menanggapi temuan ini, beberapa pakar pun meyakinkan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang normal dan tidak perlu dikhawatirkan.



"Dua puluh lima cm itu tampak besar kalau terlihat pada penggaris. Namun, kalau Anda melihat pada skala Bumi keseluruhan, itu pastinya sangat kecil," kata geolog Universitas Torronto, Andrew Miall, seperti dilansir web National Post Kanada. Berpengaruh pasti, namun, menurutnya, tidak akan terlalu dirasakan. Ia mengibaratkan perubahan satu detik dalam 24 jam.

Pendapat yang sama dikatakan ahli astrofisika asal Indonesia yang bekerja di Max Planck Institute for Astronomy, Johny Setiawan. Ia mengatakan, sumbu Bumi memang tidak stabil. Pergeseran sumbu Bumi, menurutnya, memang sesuatu yang normal terjadi.

"Bumi, kan, bagian luarnya terdiri dari lempengan-lempengan. Kalau lempengannya bergeser, sumbunya juga bergeser karena distribusi materi dan titik beratnya juga bergeser," katanya, saat dihubungi Kompas.com.

Ia menjelaskan, fenomena tersebut mungkin dapat diumpamakan Bumi tampak seperti gasing yang berputar dan kadang sumbunya berubah setiap waktu. Gerak perubahan sumbu Bumi disebut Gerak Presesi dan beberapa penyebabnya adalah gravitasi Bulan dan Matahari. Secara kebetulan, bulan saat ini juga sedang bergerak ke posisi perigee atau jarak terdekat dengan Bumi yang akan terjadi 16 Maret 2011 nanti sehingga distribusi massa di permukaan Bumi juga akan berubah. (Kompas.com)

Poros bumi bergeser


Poros bumi bergeser

Leo Zinezi/stock.xchng

Seorang ahli astronomi asal Minneapolis, Profesor Parke Kunkle, berpendapat bahwa posisi sumbu bumi mengalami pergeseran akibat daya tarik gravitasi bulan terhadap ekuator bumi. Pergeseran ini menyebabkan perubahan dalam astrologi. Horoskop yang semula 12 bintang bertambah, kini menjadi 13 bintang.

Astrologi ditetapkan berdasarkan posisi matahari terhadap susunan rasi bintang tertentu pada hari seseorang dilahirkan. Namun masalahnya, posisi tersebut ditentukan lebih dari 2000 tahun yang lalu. Dengan bintang-bintang yang sudah bergeser sekarang ini, timbul ketidakcocokan antara pandangan astrologi dengan ilmu astronomi.

"Astrologi seakan memberitahu kita posisi matahari berada di satu tempat, sedangkan astronomi mengatakan letaknya di posisi berbeda," ujar Joe Rao, kolumnis situs SPACE.com dan pengajar di Hayden Planetarium New York.

Sementara zodiak baru yang hadir, Ophiuchus, sebenarnya sudah ada sejak lama, tepatnya sejak era peradaban bangsa Babylonia memberi nama 13 konstelasi bintang di langit. Belakangan bangsa Babylonia menghapus Ophiuchus agar jumlah zodiak sama dengan jumlah bulan dalam setahun.

Berikut ini adalah pembagian astrologi baru pasca pergeseran sumbu bumi.

Aquarius: 17 Februari-11 Maret
Pisces: 12 Maret-18 April
Aries: 19 April-13 Mei
Taurus: 14 Mei-21 Juni
Gemini: 22 Juni-20 Juli
Cancer: 21 Juli-10 Agustus
Leo: 11 Agustus-16 September
Virgo: 17 September-30 Oktober
Libra: 31 Oktober-23 November
Scorpio: 24 November-29 November
Ophiuchus: 30 November-17 Desember
Sagitarius: 18 Desember-20 Januari
Capricorn: 21 Januari-16 Februari

Sumber: Live Science
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

KERUSAKAN HUTAN