Perdagangan Karbon. Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties (COP) 15 di Kopenhagen, Denmark pada 7-18 Desember 2009, walaupun gagal menandatangani dokumen terakhir yang berdaya mengikat secara hukum, namun telah meletakkan dasar yang kokoh bagi peningkatan kerja sama komunitas internasional. Kopenhagen akan menjadi titik tolak baru penanggapan perubahan iklim.
Upaya bersama berbagai pihak, Konferensi Kopenhagen dengan tegas memelihara kerangka dan prinsip yang tercantum dalam Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB dan Protokol Kyoto, sementara itu, mengayunkan langkah baru dalam mendorong negara-negara maju secara wajib melaksanakan pengurangan emisi gas rumah kaca dan negara-negara berkembang secara inisiatif mengambil aksi pengurangan emisi. Konferensi mencapai kesepahaman luas mengenai target jangka panjang global, dukungan dana dan teknologi serta transparansi terkait. Persetujuan Kopenhagen yang diterima baik para peserta konferensi telah meletakkan dasar bagi berbagai negara di dunia untuk mencapai persetujuan global pertama dalam arti sesungguhnya mengenai pembatasan dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Persetujuan Kopenhagen akan diserahkan berbagai negara kepada lembaga legislatif negeri masing-masing untuk disahkan pada Januari tahun 2010, agar persetujuan tersebut dapat disahkan sebagai dokumen hukum dalam konferensi iklim yang akan digelar di Kota Meksiko tahun 2010 mendatang.
Persetujuan yang dilakukan pada KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro melalui Protokol Kyoto sepakat untuk mengurangi emisi pencemaran udara (gas rumah kaca/GRK) sebesar rata-rata 5,3% dari tingkat emisi tahun 1990 yang harus dicapai pada periode komitmen pertama antara tahun 2008-2012. Sebenarnya emisi gas yang dimaksud dalam Protokol Kyoto bukan hanya karbon tetapi juga hidrokarbon, metan, nitrogen oksida, hidrofluorokarbon dan perfluorokarbon, akan tetapi dalam perkembangannya seluruh gas tersebut dinyatakan dengan ekivalen karbon.
Dalam kaitan ini yang tidak mudah adalah kesepakatan untuk menentukan kriteria untuk menghitung jumlah biaya dan besarnya unit reduksi emisi yang diperjual belikan. Terlebih lagi salah satu persyaratan perdagangan karbon adalah Certified Emission Reduction yang dilakukan oleh Supervisory Executive Board.
Smits memberitahukan bahwa Yayasan Gibbon dan The Balikpapan Orangutan Survival Foundation telah memulai bermain dalam perdagangan karbon di Kalimantan. Dengan kemampuan teknologi citra radar yang dimiliki, lembaga tersebut bisa meyakinkan kepada pihak pembeli, sehingga mendapatkan pembiayaan untuk membangun hutannya bersama dengan masyarakat setempat. Dengan perdagangan karbon ini hutan yang dibangun dapat mempekerjakan lebih dari 650 kepala keluarga. Harga jual karbon yang saat ini berlaku adalah US $ 2-7 setiap ton karbon per tahun. Kunci keberhasilannya adalah kemajuan informasi yang dimiliki baik dalam citra radar untuk pemantauan kegiatan lapangan yang setiap saat dengan mudah diakses dan dilakukan penilaian total karbon yang dihasilkan. Pekerjaan ini berarti sudah bersifat resource and community based management (Marsono, 2004).
Namun perdagangan karbon lewat jalur clean development mechanism (CDM) dianggap terlalu rumit. Kerumitan tersebut misalnya, dalam hal kriteria perlunya pemantauan agar penyerapan dan pelepasan karbon suatu lahan yang sudah ditanami kembali dalam kondisi yang baik dalam beberapa tahun kemudian. Sekalipun rumit diterapkan di Indonesia, negara lain yang memperoleh manfaat dari CDM, antara lain Filipina dan Brasil.
Setelah sulit menerapkan clean development mechanism (CDM) membuat Indonesia beralih ke jalur reduced emission from deforestation and degradation (REDD). Kini, lewat jalur REDD, diharapkan Indonesia memperoleh manfaat dari upaya pemeliharaan terhadap hutan untuk mengurangi emisi karbon. Pemeliharaan ini juga diperhitungkan dalam perdagangan karbon, dan sesuai dengan Konvensi Perubahan Iklim di Bali; diharapkan REDD bisa dilaksanakan tahun 2012.
Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.30/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi Dari Deforestasi Dan Degradasi Hutan (REDD) menjelaskan bahwa REDD adalah semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Sedangkan Perdagangan Karbon didefinisikan sebagai kegiatan perdagangan jasa yang berasal dari kegiatan pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Pustaka :
Marsono. Dj, 2004. Peran Rosot Hutan Dalam Pelestarian Bumi. Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Penerbit BIGRAF Publishing Bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan YLH. Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment