• Belajar membuat blog dan website mendapat dollar dari Google Adsense
  • Mempelajari Proses Biokimia yang terjadi di dalam pohon, mengetahui bagaimana pohon itu tumbuh
  • Menanam dan memelihara pohon untuk kesejanteraan
  • Mempelajari Ekosistem Hutan hubungan timbal baik yang terjadi di dalam hutan Mempelajari Struktur dan Fungsi Hutan
  • Materi Pembelajaran Bidang Kehutanan tentang budidaya hutan, konservasi dan manajemen oleh IRWANTO FORESTER
  • Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh pada daerah pasang surut mempunyai banyak fungsi
  • Jalan jalan melihat hutan Indonesia, Indonesia kaya akan sumberdaya alam tapi mengapa masih banyak penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan

Thursday, March 25, 2010

DEFINISI HUTAN SEKUNDER

Istilah ’Hutan Sekunder’ telah digunakan didalam nomenklatur ilmiah paling tidak sejak tahun 1950-an (Richards 1955, Greigh-Smith 1952). Walaupun akhir-akhir ini istilah tersebut semakin sering digunakan, namun istilah ini masih belum biasa dipakai di banyak negara. Di negara-negara tersebut, hutan-hutan yang terdiri dari jenis-jenis pohon lokal biasanya didefinisikan sebagai hutan atau hutan alami, tanpa mempedulikan apakah hutan tersebut merupakan hutan primer, hutan bekas tebangan, atau hutan hasil regenerasi. Karena itu, istilah hutan sekunder dapat mempunyai arti yang sangat berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena istilah ’hutan sekunder’, sebagai padanan dari istilah ’hutan primer’, menimbulkan asosiasi-asosiasi langsung yang subyektif, yang sulit untuk dibuat sistematikanya.

FAO tidak menggunakan sama-sekali istilah ’hutan sekunder’. Sebagai gantinya, dalam publikasi-publikasi FAO digunakan terminologi-terminologi yang berbeda, yang lebih-kurang dapat dipandang sebagai sinonim untuk berbagai formasi hutan sekunder. Pada tahun 1996, FAO mendefinisikan 4 macam hutan berdasarkan kerapatan tajuknya (hutan tertutup / closed forest dan hutan terbuka / open forest), serta bentuk perusakannya melalui perladangan berpindah (long fallow) dan faktor-faktor lainnya yang tidak dirinci lebih lanjut (fragmented forest). Hanya hutan tertutup (closed forest) yang digambarkan sebagai hutan alam yang tidak terganggu secara ekologi, dan karenanya didalam studi ini dianggap sama dengan hutan primer.

Definisi-definisi yang diberikan mengenai ”Hutan Sekunder” dilihat dari ciri dan berbagai faktor pembentukannya adalah sebagai berikut :

  • Lamprecht (1986)

Hutan sekunder adalah fase pertumbuhan hutan dari keadaan tapak gundul, karena alam ataupun antropogen, sampai menjadi klimaks kembali.

Tidak benar bahwa hutan sekunder tidak alami lagi, yang benar istilahnya adalah “Hutan Alam Sekunder” untuk membedakannya dari hutan alam primer Sifat-sifat hutan sekunder :

  1. Komposisi dan struktur tidak saja tergantung tapak namun juga tergantung pada umur.
  2. Tegakan muda berkomposisi dan struktur lebih seragam dibandingkan hutan aslinya.
  3. Tak berisi jenis niagawi. Jenis-jenis yang lunak dan ringan, tidak awet, kurus, tidak laku.
  4. Persaingan ruangan dan sinar yang intensif sering membuat batang bengkok. Jenis-jenis cepat gerowong.
  5. Riap awal besar, lambat laun mengecil.
  6. Karena struktur, komposisi dan riapnya tidak akan pernah stabil, sulit merencanakan pemasaran hasilnya.

  • Brown & Lugo (1990)

Hutan-hutan sekunder “terbentuk sebagai suatu konsekensi dari dampak manusia terhadap kawasan-kawasan hutan” Hutan-hutan yang terbentuk sebagai suatu konsekensi dari pengaruh manusia, biasanya setelah adanya kegiatan pertanian di areal-areal hutan yang ditebang-habis, tidak termasuk disini. Dalam konteks ini, hutan-hutan sekunder merupakan suatu komponen penting dari perladangan berpindah.

  • Catterson (1994)

Suatu bentuk hutan dalam proses suksesi yang mengkolonisasi areal-areal yang sebelumnya rusak akibat sebab-sebab alami atau manusia, dan yang suksesinya tidak dipengaruhi oleh vegetasi asli disekitarnya karena luasnya areal yang rusak. Bentuk-bentuk formasi vegetasi berikut ini dapat terbentuk: lahan kosong / padang-padang rumput buatan / areal areal bekas-tebangan baru / areal-areal bekas tebangan yang lebih tua.

  • Corlett (1994)

Ciri-ciri utama dari hutan-hutan sekunder adalah terjadinya interupsi dari penutupan hutan yang kontinyu, ketergantungan dari luar dalam pembentukan hutan kembali, dan kenyataan bahwa ciri-ciri ini dapat dikenali pada struktur dan/atau komposisi vegetasi hutan. Pendefinisian hutan-hutan sekunder seperti biasanya adalah suatu masalah bagaimana menarik garis batas didalam suatu selang/skala.

  • Parlemen Jerman (1990)

Hutan-hutan sekunder mencakup semua tahapan suksesi yang terjadi pada areal-areal yang kosong akibat sebab-sebab alami atau kegiatan manusia.

  • FAO (1993)

Setelah adanya perubahan dari bentuk pemanfaatan lahan yang terkait dengan pengurangan penutupan pohon dibawah 10% (penggundulan hutan), hutan sekunder akan terbentuk apabila areal tersebut ditinggalkan tanpa gangguan.

  • Finegan (1992)

„...didefinisikan sebagai vegetasi berkayu yang berkembang/tumbuh diatas lahan yang ditinggalkan sebelumnya setelah vegetasi aslinya dirusak akibat kegiatan manusia.“

  • Greigh-Smith (1952)

Pertumbuhan kembali setelah tebang-habis.


  • Huss (1996)

Setelah hutan-hutan alam atau sisa-sisa hutan alam terdegradasi akibat kegiatan tebang pilih atau pembalakan kayu yang tak terkontrol, hutan-hutan sekunder berkembang dari benih pohon-pohon pionir, coppice dari sisa-sisa (tunggul) pohon, atau melalui regenerasi jenis-jenis pohon klimaks, selama proses tersebut tidak diganggu. Karena itu hutanhutan yang terdegradasi dan hutan-hutan sekunder tidak dapat dibedakan secara jelas. Hutan-hutan sekunder seringkali membentuk mosaik mosaik kecil dari komunitas hutan serta fase-fase degradasi dan regenerasi yang sulit dipilah-pilah.

  • Kaffka (1990)

Hutan-hutan bekas tebangan yang kemudian dibiarkan tanpa gangguan-gangguan dapat berkembang menjadi hutan sekunder.

  • Lanly (1982)

Hutan-hutan sekunder yang berusia lebih dari 60-80 tahun diklasifikasikan sebagai hutan-hutan yang belum terjamah atau hutan-hutan primer. Hutan-hutan sekunder atau hutan bera adalah sebuah mosaik dari areal-areal yang digunakan untuk kegiatan pertanian, hutan-hutan yang belum terjamah dan hutan-hutan dengan umur yang berbeda-beda, yang terdiri dari komposisi vegetasi yang berkembang/tumbuh setelah adanya tebang-habis dari formasi-formasi hutan tertutup atau terbuka.

  • Sips et al. (1993)

„...bentuk dari hutan hujan tropik yang berada pada tahapan rekonstruksi yang suksesif setelah terjadinya penggundulan total akibat gangguan-gangguan alam dan/atau manusia, dan dimana intensitas, ukuran, dan lamanya gangguan yang terjadi meminimalkan bahwa pengaruh dari vegetasi disekelilingnya terhadap proses regenerasi.“ (...„regenerasi secara autogen“ oleh vegetasi hutan disekelilingnya diminimalkan).

  • UNESCO (1978)

Vegetasi yang mengkolonisasi areal-areal, dimana sebagian atau seluruh vegetasi asli telah menghilang akibat gangguan-gangguan alam atau manusia.


  • Weaver and Birdsey (1986)

Hutan-hutan yang merupakan hasil dari lahan pertanian atau penggembalaan/peternakan yang ditinggalkan, dan hutan-hutan yang merupakan hasil regenerasi dari kawasan hutan yang sebelumnya ditebang-habis atau terganggu.


  • WWF (1988)

Hutan-hutan yang diperbaharui secara substansial akibat intervensi manusia.


Tulisan-Tulisan Berkaitan :
  1. Definisi Suksesi
  2. Definisi Suksesi Primer
  3. Definisi Suksesi Sekunder
  4. Definisi Habitat
  5. Definisi Homoestatis
  6. Definisi Ekotipe
  7. Pengertian Ekosistem
  8. Pengertian Lingkungan
  9. Pencemaran Lingkungan
  10. Ekologi
  11. Ekologi Hutan
  12. Parasit
  13. Predator
  14. Pemangsaan
  15. Heterogenitas Ruang
  16. Persaingan
  17. Definisi dan Pengertian Hutan
  18. Klasifikasi Hutan menurut Jenis, Kerapatan dll
  19. Klasifikasi Pohon dalam Sebuah Hutan
  20. Definisi Pohon dan Pohon-Pohon Menakjubkan
  21. Gambar dan Bentuk Pohon Pohon
  22. Manfaat Hutan dalam Perdagangan Karbon
  23. Silvikultur Hutan Alam Tropika
  24. Jenis dan Tipe Hutan di Indonesia
  25. Tipe-tipe Hutan Tropika
  26. Struktur Hutan Hujan Tropika
  27. Faktor-Faktor yang Mengontrol Siklus Hara
  28. Faktor-Faktor Lingkungan dan Pembangunan Hutan
  29. Pengelolaan Hutan Tanaman
  30. Penentuan Kerapatan Tegakan
  31. Metode Penentuan Kerapatan Tegakan
  32. Ruang Tumbuh Kerapatan Tegakan Jarak Antar Pohon
  33. Metode Lain Pengukuran Kerapatan Tegakan
  34. Evaluasi Berbagai Metode Mengukur Kerapatan Tegakan
  35. Keuntungan dan Kerugian Sistem Tebang Habis
  36. Keuntungan dan Kerugian Sistem Tebang Pilih
  37. Proyek Pembuatan Hutan di Gurun Sahara

DAFTAR PUSTAKA
  • Arief, Arifin, (1994), Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
  • Daniel, Theodore. W, John. A. Helms, Frederick S. Baker, (1978), Prinsip-Prinsip Silvikultur (Diterjemahkan oleh Dr. Ir. Djoko Marsono, 1992), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
  • Emrich Anette, Benno Pokorny, Dr, Cornelia Sepp. (2000) Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder Dalam Kebijakan Pembangunan (Penelitian Hutan Tropika). Deutsche Gesellschaft Für Technische Zusammenarbeit (Gtz) Gmbh Postfach 5180 D-65726 Eschborn
  • Marsono, Dj (1991). Potensi dan Kondisi Hutan Hujan Tropika Basah di Indoensia. Buletin Instiper Volume.2. No.2. Institut Pertanian STIPER. Yogyakarta.
  • Schindele, W. (1989): Investigation of the steps needed to rehabilitate the areas of East Kalimantan seriously affected by fire.

DEFINISI TENTANG HUTAN :

MENEBANG HUTAN UNTUK MENYUKSESKAN PROGRAM GERHAN


Saat ini Indonesia kehilangan sekitar 1,6 - 2 juta hektar hutan setiap tahun. Skala dan laju deforestasi sebesar ini belum pernah terjadi sebelumnya. Survey terbaru dan bisa dipertanggungjawabkan hasilnya mengenai tutupan hutan Indonesia memprediksikan, bahwa hutan-hutan Dipterocarpaceae dataran rendah akan lenyap dari Sumatera dan Kalimantan pada tahun 2010 jika kecenderungan-kecenderungan saat ini tetap tidak dicegah (Holmes, 2000).
Kerusakan hutan di Indonesia yang mencapai kira-kira 2 juta hektar per tahun mengakibatkan kerugian sekitar Rp 83 miliar per hari atau Rp 30,3 triliun per tahun.

Berdasarkan hasil citra landsat tahun 1999-2000 mengindikasikan terdapat lahan kritis yang perlu direhabilitasi seluas 101,73 juta ha. Dari luas tersebut 42,11 juta ha berada di luar kawasan hutan, dan seluas 59,62 juta ha berada di dalam kawasan hutan. Untuk menanggulangi Kerusakan hutan yang semakin parah Pemerintah menetapkan Program GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan). GNRHL secara resmi dicanangkan pada tahun 2003 oleh Presiden Megawati Soekanorpoetri di desa Karangduwet, Kecamatan Paliyan, Kabupaten gunung Kidul Yogyakarta, dengan Thema "Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Sebagai Komitmen Bangsa Untuk Meningkatkan Kualitas Lingkungan dan Kesejahteraan Rakyat". GNRHL bertujuan untuk melakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan secara terpadu dan terencana dengan melibatkan semua instansi pemerintah terkait, swasta dan masyarakat, agar kondisi lingkungan hulu dapat kembali berfungsi sebagai daerah resapan air hujan secara normal dan baik.

Program GNRHL dilaksanakan pada daerah aliran sungai yang kondisinya kritis, dengan luas 3 juta hektar di seluruh Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun dimulai tahun 2003 dengan rincian tahun 2003 seluas 300.000 ha, tahun 2004 seluas 500.00 ha, 2005 seluas 600.00 ha, tahun 2006 seluas 700.000 ha, tahun seluas 900.000.

Laju kerusakan hutan mencapai 1,6 - 2 juta ha per tahun tetapi kemampuan Pemerintah dengan Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) hanya mampu merehabilitasi sekitar 3 juta ha dalam jangka waktu 5 tahun (2003-2007). Apabila kegiatan Gerhan ini berhasil seluruhnya berarti masih tersisa sekitar 5 - 7 juta ha yang perlu direhabilitasi untuk mengimbangi kerusakan hutan yang mencapai 8 - 10 juta ha dalam jangka waktu 5 tahun.

GNRHL/GERHAN bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga kawasan dapat berfungsi sebagai perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS), mencegah terjadinya banjir, tanah longsor, erosi dan sekaligus mendukung produktivitas sumberdaya hutan dan lahan serta melestarikan keanekaragaman hayati.

Jadi Proyek Gerhan berusaha mengurangi jumlah luasan hutan yang terdegradasi. Namun jika ada pemahaman bahwa Gerhan adalah proyek penanaman pohon saja maka hal ini yang terjadi, Masyarakat menebang hutan dan membuka lahan untuk menantikan proyek Gerhan. Dari segi proyek penanaman dan pemeliharaan mungkin dianggap berhasil namun luasan hutan yang terdegradasi menjadi bertambah bukannya berkurang.

Hal yang lebih parah lagi kegiatan pembukaan lahan dilakukan dengan membabat dan membakar. Tanah menjadi kehilangan unsur hara terutama nitrogen karena nitrogen merupakan unsur yang mudah terbakar. Mikroorganisme tanah tidak dapat bertahan hidup sehingga proses pelapukan dan perombakan unsur hara menjadi terhambat. Bakteri yang bersimbiosis dengan akar tanaman untuk menyuburkan tanah menjadi mati. Jamur yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman seperti mikorhiza hilang dan lenyap. Ditambah lagi meningkatnya erosi permukaan karena hilangnya penutupan vegetasi pada permukaan tanah.

Lahan puluhan hektar dibuka yang didalamnya terdapat berbagai jenis flora dan fauna kemudian digantikan dengan satu jenis tanaman yaitu "Jati", bukan lagi melestarikan keanekaragaman hayati namun memusnahkan keaneragaman hayati.
Di dalam hutan Asia Tenggara diperkirakan terdapat 90 - 100 jenis tumbuhan per hektar (diameter 10 cm up). Jika keanekaragaman jenis yang ada ditebang digantikan dengan satu jenis maka terjadilah hutan monokultur.
Jenis-jenis berharga menjadi punah bahkan mungkin saja jenis-jenis tersebut lebih bernilai ekonomis jika telah diketahui manfaatnya. misalnya sebagai penyembuh penyakit dan manfaat lainnya.

Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang manfaat dan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Dijelaskan juga tujuan utama dari proyek Gerhan ini agar masyarakat tidak beranggapan bahwa Gerhan adalah Proyek Menanam Pohon semata. Pemahaman masyarakat yang masih rendah menyebabkan kegiatan Menebang Hutan untuk menyukseskan Program Gerhan dapat terjadi. Pada akhirnya Kepala Desa daerah tersebut harus berurusan dengan pihak yang berwajib.

Casuarina equasetifolia DI PANTAI SESAR, BULA, KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR, PROVINSI MALUKU


Bila ke kota Bula Seram Bagian Timur, jangan lupa singgah di Pantai Sesar. Pantai yang menjadi salah satu objek wisata yang sedang dikembangkan. Pantai ini menjadi tempat rekreasi masyarakat sekitar pada hari libur.
Rencananya akan dikembangkan menjadi tempat tujuan wisata yang bukan saja untuk masyarakat Bula tapi juga masyarakat luar Kabupaten Seram Bagian Timur..
Jarak pantai Sesar dari kota Bula sekitar 5 km. Setiba di pantai Sesar, sejauh mata memandang yang terlihat adalah pohon Kasuari / Cemara (Casuarina equasetifolia). Entah ada berapa banyak pohon Casuarina equasetifolia di pantai ini, dari tingkat pohon sampai semai ditemukan sangat melimpah.
Pohon Cemara ini bukan hanya terdapat di Pantai Sesar saja tetapi juga terdapat di dalam kota Bula. Hampir setiap kaki melangkah di kota Bula akan ditemukan Casuarina equasetifolia.

Casuarina equisetifolia L merupakan jenis yang bersimbiosis dengan mycorrhiza dan bakteri pengikat nitrogen, dapat tumbuh pada lahan kritis dan mempunyai banyak manfaat dan kegunaan.

Proses pengikatan/penambatan nitrogen dari udara disebut proses “Fiksasi”.

Bintil-bintil akar pada Casuarina equisetifolia L bukan dari bakteri Rhizobium tetapi Bakteri Frankia. Jenis-jenis pohon yang bersimbiosis dengan bakteri Frankia digolongkan dalam tanaman “Actinorhizal”.

Tanaman actinorhizal merupakan jenis pohon non-legum yang dapat membentuk nodul akar penghasil nitrogen karena bersimbiosis dengan bakteri Frankia. Family Actinorhizal terakhir setelah revisi taxonomic terbaru dibagi menjadi empat genus - Casuarina, Allocasuarina, Gymnostoma dan Ceuthostoma. Frankia adalah bakteri gram positif yang termasuk dalam ”slow growing” bakteri, berbeda dengan Rhizobium yang digolongkan dalam Gram Negatif. Tetapi keduanya mempuyai peran yang sama dalam mengikat nitrogen dari udara. Bakteri yang bersimbiosis dengan akar tanaman ini yang membentuk bintil-bintil akar.

Nitrogen tersedia di udara dalam jumlah besar sekitar 78%, tetapi tidak dapat langsung digunakan oleh tanaman, nitrogen ini harus dirubah menjadi senyawa nitrat dan amonium untuk dapat diserap oleh tanaman.


PAPER :
PENGGUNAAN TANAMAN ACTINORHIZAL Casuarina equisetifolia L PADA REHABILITASI LAHAN ALANG-ALANG DENGAN SISTEM AGROFORESTRI


KONFERENSI KOPENHAGEN TITIK TOLAK BARU KERJA SAMA INTERNASIONAL DALAM PENANGGAPAN PERUBAHAN IKLIM


Konferensi Iklim PBB belum lama berselang ditutup di Kopenhagen, Denmark setelah meluluskan Persetujuan Kopenhagen. Walaupun Konferensi Kopenhagen gagal menandatangani dokumen terakhir yang berdaya mengikat secara hukum, namun telah meletakkan dasar yang kokoh bagi peningkatan kerja sama komunitas internasional. Kopenhagen akan menjadi titik tolak baru penanggapan perubahan iklim.


Melalui upaya bersama berbagai pihak, Konferensi Kopenhagen dengan tegas memelihara kerangka dan prinsip yang tercantum dalam Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB dan Protokol Kyoto, sementara itu, mengayunkan langkah baru dalam mendorong negara-negara maju secara wajib melaksanakan pengurangan emisi gas rumah kaca dan negara-negara berkembang secara inisiatif mengambil aksi pengurangan emisi.
Konferensi mencapai kesepahaman luas mengenai target jangka panjang global, dukungan dana dan teknologi serta transparansi terkait. Persetujuan Kopenhagen yang diterima baik para peserta konferensi telah meletakkan dasar bagi berbagai negara di dunia untuk mencapai persetujuan global pertama dalam arti sesungguhnya mengenai pembatasan dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Persetujuan Kopenhagen akan diserahkan berbagai negara kepada lembaga legislatif negeri masing-masing untuk disahkan pada Januari tahun 2010, agar persetujuan tersebut dapat disahkan sebagai dokumen hukum dalam konferensi iklim yang akan digelar di Kota Meksiko tahun 2010 mendatang. Dalam proses itu, berbagai pihak hendaknya berupaya meningkatkan kerja sama di tiga bidang sebagai berikut:


Pertama, meningkatkan kerja sama antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Negara-negara maju mengemban tanggung jawab sejarah dalam masalah perubahan iklim, hal ini pantang disangkal. Dalam masalah pelaksanaan Persetujuan Kopenhagen, negara-negara maju harus mengambil aksi pragmatis, menunaikan komitmennya tentang target pengurangan emisi dan persediaan dana; sementara itu, negara-negara berkembang bertugas mengembangkan ekonomi, dan mengambil tindakan pengurangan emisi yang layak dalam proses perkembangan berkelanjutan. Baik negara-negara maju maupun negara-negara berkembang hendaknya tidak lagi saling mencela dan berlawanan dalam masalah perubahan iklim, melainkan meningkatkan kerja sama agar pemanasan global dapat dibendung, dan masalah perubahan iklim dapat diselesaikan secara tuntas.


Kedua, meningkatkan kerja sama dalam kerangka PBB. Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB dan Protokol Kyoto merupakan perjanjian internasional yang bersifat mengikat secara hukum dan yang diakui umum oleh masyarakat internasional dalam menanggapi perubahan iklim. Oleh karena itu, berbagai negara hendaknya meningkatkan kerja sama multilateral dan menunaikan kewajibannya masing-masing dalam kerangka PBB, supaya sedini mungkin mengakhiri perundingan tentang Peta Jalan Bali, dalam rangka mendorong kerja sama internasional terus mencapai kemajuan yang baru untuk pada akhirnya mencapai suatu persetujuan internasional yang berdaya mengikat secara hukum dan diakui oleh semua negara. Ini adalah satu-satunya jalan keluar.


Ketiga, meningkatkan kerja sama negara-negara berkembang. Mengingat jumlah penduduknya yang banyak dan dasar ekonominya yang lemah, maka negara-negara berkembang termasuk kelompok yang rawan dirugikan dalam masalah perubahan iklim. Negara-negara kepulauan lebih-lebih menghadapi ancaman "musnah". Oleh karena itu, negara-negara berkembang yang berada pada tahap perkembangan yang berbeda, hendaknya meningkatkan koordinasi antara satu sama lain, dan bergandengan tangan dalam menanggapi perubahan iklim melalui "kerja sama Selatan-Selatan". Sebagian negara berkembang utama telah secara terlebih dahulu mengambil tindakan dan kebijakan positif untuk menanggapi perubahan iklim. Baik dilihat dari sikapnya maupun dari intensitas aksi, hasil-hasil yang dicapainya sama sekali tidak kalah apabila dibandingkan dengan negara-negara maju. Selama berlangsungnya Konferensi Kopenhagen, negara-negara berkembang mengadakan komunikasi yang penuh, transparan dan lancar antara satu sama lain, dan memberikan sumbangan besar untuk mendorong tercapainya hasil dalam konferensi. Kerja sama itu hendaknya dilanjutkan.
Dilihat dari alotnya proses Konferensi Kopenhagen, dapat kita tarik kesimpulan bahwa mancanegara dunia masih akan menempuh jalan yang panjang dan berliku-liku dalam proses menanggapi perubahan iklim. Menurut agenda terkait, Organisasi Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB akan mengadakan perundingan putaran pertama di Bonn, Jerman pada Juni tahun 2010, dan mengadakan konferensi penandatangan ke-16 Konvensi pada Desember 2010 mendatang.

Sumber : China Radio International.CRI.
(http://indonesian.cri.cn)

MANFAAT HUTAN DALAM PERDAGANGAN KARBON


Perdagangan Karbon. Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties (COP) 15 di Kopenhagen, Denmark pada 7-18 Desember 2009, walaupun gagal menandatangani dokumen terakhir yang berdaya mengikat secara hukum, namun telah meletakkan dasar yang kokoh bagi peningkatan kerja sama komunitas internasional. Kopenhagen akan menjadi titik tolak baru penanggapan perubahan iklim.

Upaya bersama berbagai pihak, Konferensi Kopenhagen dengan tegas memelihara kerangka dan prinsip yang tercantum dalam Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB dan Protokol Kyoto, sementara itu, mengayunkan langkah baru dalam mendorong negara-negara maju secara wajib melaksanakan pengurangan emisi gas rumah kaca dan negara-negara berkembang secara inisiatif mengambil aksi pengurangan emisi. Konferensi mencapai kesepahaman luas mengenai target jangka panjang global, dukungan dana dan teknologi serta transparansi terkait. Persetujuan Kopenhagen yang diterima baik para peserta konferensi telah meletakkan dasar bagi berbagai negara di dunia untuk mencapai persetujuan global pertama dalam arti sesungguhnya mengenai pembatasan dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Persetujuan Kopenhagen akan diserahkan berbagai negara kepada lembaga legislatif negeri masing-masing untuk disahkan pada Januari tahun 2010, agar persetujuan tersebut dapat disahkan sebagai dokumen hukum dalam konferensi iklim yang akan digelar di Kota Meksiko tahun 2010 mendatang.


Persetujuan yang dilakukan pada KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro melalui Protokol Kyoto sepakat untuk mengurangi emisi pencemaran udara (gas rumah kaca/GRK) sebesar rata-rata 5,3% dari tingkat emisi tahun 1990 yang harus dicapai pada periode komitmen pertama antara tahun 2008-2012. Sebenarnya emisi gas yang dimaksud dalam Protokol Kyoto bukan hanya karbon tetapi juga hidrokarbon, metan, nitrogen oksida, hidrofluorokarbon dan perfluorokarbon, akan tetapi dalam perkembangannya seluruh gas tersebut dinyatakan dengan ekivalen karbon.

Dalam kaitan ini yang tidak mudah adalah kesepakatan untuk menentukan kriteria untuk menghitung jumlah biaya dan besarnya unit reduksi emisi yang diperjual belikan. Terlebih lagi salah satu persyaratan perdagangan karbon adalah Certified Emission Reduction yang dilakukan oleh Supervisory Executive Board.

Smits memberitahukan bahwa Yayasan Gibbon dan The Balikpapan Orangutan Survival Foundation telah memulai bermain dalam perdagangan karbon di Kalimantan. Dengan kemampuan teknologi citra radar yang dimiliki, lembaga tersebut bisa meyakinkan kepada pihak pembeli, sehingga mendapatkan pembiayaan untuk membangun hutannya bersama dengan masyarakat setempat. Dengan perdagangan karbon ini hutan yang dibangun dapat mempekerjakan lebih dari 650 kepala keluarga. Harga jual karbon yang saat ini berlaku adalah US $ 2-7 setiap ton karbon per tahun. Kunci keberhasilannya adalah kemajuan informasi yang dimiliki baik dalam citra radar untuk pemantauan kegiatan lapangan yang setiap saat dengan mudah diakses dan dilakukan penilaian total karbon yang dihasilkan. Pekerjaan ini berarti sudah bersifat resource and community based management (Marsono, 2004).

Namun perdagangan karbon lewat jalur clean development mechanism (CDM) dianggap terlalu rumit. Kerumitan tersebut misalnya, dalam hal kriteria perlunya pemantauan agar penyerapan dan pelepasan karbon suatu lahan yang sudah ditanami kembali dalam kondisi yang baik dalam beberapa tahun kemudian. Sekalipun rumit diterapkan di Indonesia, negara lain yang memperoleh manfaat dari CDM, antara lain Filipina dan Brasil.

Setelah sulit menerapkan clean development mechanism (CDM) membuat Indonesia beralih ke jalur reduced emission from deforestation and degradation (REDD). Kini, lewat jalur REDD, diharapkan Indonesia memperoleh manfaat dari upaya pemeliharaan terhadap hutan untuk mengurangi emisi karbon. Pemeliharaan ini juga diperhitungkan dalam perdagangan karbon, dan sesuai dengan Konvensi Perubahan Iklim di Bali; diharapkan REDD bisa dilaksanakan tahun 2012.

Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.30/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi Dari Deforestasi Dan Degradasi Hutan (REDD) menjelaskan bahwa REDD adalah semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Sedangkan Perdagangan Karbon didefinisikan sebagai kegiatan perdagangan jasa yang berasal dari kegiatan pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Pustaka :
Marsono. Dj, 2004. Peran Rosot Hutan Dalam Pelestarian Bumi. Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Penerbit BIGRAF Publishing Bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan YLH. Yogyakarta.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

KERUSAKAN HUTAN