• Belajar membuat blog dan website mendapat dollar dari Google Adsense
  • Mempelajari Proses Biokimia yang terjadi di dalam pohon, mengetahui bagaimana pohon itu tumbuh
  • Menanam dan memelihara pohon untuk kesejanteraan
  • Mempelajari Ekosistem Hutan hubungan timbal baik yang terjadi di dalam hutan Mempelajari Struktur dan Fungsi Hutan
  • Materi Pembelajaran Bidang Kehutanan tentang budidaya hutan, konservasi dan manajemen oleh IRWANTO FORESTER
  • Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh pada daerah pasang surut mempunyai banyak fungsi
  • Jalan jalan melihat hutan Indonesia, Indonesia kaya akan sumberdaya alam tapi mengapa masih banyak penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan

Monday, August 9, 2010

PENGERTIAN HUTAN | Definisi Hutan


Pengertian hutan atau definisi hutan yang diberikan Dengler adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas sehingga akan dapat membentuk iklim mikro yang kondisi ekologis yang khas serta berbeda dengan areal luarnya (Anonimous 1997).

Hutan adalah suatu areal yang luas dikuasai oleh pohon, tetapi hutan bukan hanya sekedar pohon. Termasuk didalamnya tumbuhan yang kecil seperti lumut, semak belukar dan bunga-bunga hutan. Di dalam hutan juga terdapat beranekaragam burung, serangga dan berbagai jenis binatang yang menjadikan hutan sebagai habitatnya.

Menurut Spurr (1973), hutan dianggap sebagai persekutuan antara tumbuhan dan binatang dalam suatu asosiasi biotis. Asosiasi ini bersama-sama dengan lingkungannya membentuk suatu sistem ekologis dimana organisme dan lingkungan saling berpengaruh di dalam suatu siklus energi yang kompleks.

Pohon tidak dapat dipisahkan dari hutan, karena pepohonan adalah vegetasi utama penyusun hutan tersebut. Selama pertumbuhannya pohon melewati berbagai tingkat kehidupan sehubungan dengan ukuran tinggi dan diameternya.


Definisi Hutan

Iklim, tanah dan air menentukan jenis tumbuhan dan hewan yang dapat hidup di dalam hutan tersebut. Berbagai kehidupan dan lingkungan tempat hidup, bersama-sama membentuk ekosistem hutan. Suatu ekosistem terdiri dari semua yang hidup (biotik) dan tidak hidup (abiotik) pada daerah tertentu dan terjadi hubungan didalamnya.

Ekosistem hutan mempunyai hubungan yang sangat kompleks. Pohon dan tumbuhan hijau lainnya menggunakan cahaya matahari untuk membuat makanannya, karbondioksida diambil dari udara, ditambah air (H2O) dan unsur hara atau mineral yang diserap dari dalam tanah.

Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan.
Hutan merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu ekosistem yang berada dalam keadaan keseimbangan dinamis.

Definisi Hutan

Dengan demikian berarti berkaitan dengan proses-proses yang berhubungan yaitu:
1. Hidrologis, artinya hutan merupakan gudang penyimpanan air dan tempat menyerapnya air hujan maupun embun yang pada akhirnya akan mengalirkannya ke sungai-sungai yang memiliki mata air di tengah-tengah hutan secara teratur menurut irama alam. Hutan juga berperan untuk melindungi tanah dari erosi dan daur unsur haranya.

2. Iklim, artinya komponen ekosistern alam yang terdiri dari unsur-unsur hujan (air), sinar matahari (suhu), angin dan kelembaban yang sangat mempengaruhi kehidupan yang ada di permukaan bumi, terutama iklim makro maupun mikro.

3. Kesuburan tanah,
artinya tanah hutan merupakan pembentuk humus utama dan penyimpan unsur-unsur mineral bagi tumbuhan lain. Kesuburan tanah sangat ditentukan oleh faktor-faktor seperti jenis batu induk yang membentuknya, kondisi selama dalam proses pembentukan, tekstur dan struktur tanah yang meliputi kelembaban, suhu dan air tanah, topografi wilayah, vegetasi dan jasad jasad hidup. Faktor-faktor inilah yang kelak menyebabkan terbentuknya bermacam-macam formasi hutan dan vegetasi hutan.

4. Keanekaan genetik,
artinya hutan memiliki kekayaan dari berbagai jenis flora dan fauna. Apabila hutan tidak diperhatikan dalam pemanfaatan dan kelangsungannya, tidaklah mustahil akan terjadi erosi genetik. Hal ini terjadi karena hutan semakin berkurang habitatnya.

5. Sumber daya alam, artinya hutan mampu memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi devisa negara, terutama di bidang inciustri. Selain itu hutan juga memberikan fungsi kepada masyarakat sekitar hutan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selain kayu juga dihasilkan bahan lain seperti damar, kopal, gondorukem, terpentin, kayu putih dan rotan serta tanaman obat-obatan.

6. Wilayah wisata alam,
artinya hutan mampu berfungsi sebagai sumber inspirasi, nilai estetika, etika dan sebagainya.


Menurut Marsono (2004) secara garis besar ekosistem sumberdaya hutan terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
  1. Tipe Zonal yang dipengaruhi terutama oleh iklim atau disebut klimaks iklim, seperti hutan tropika basah, hutan tropika musim dan savana.
  2. Tipe Azonal yang dipengaruhi terutama oleh habitat atau disebut klimaks habitat, seperti hutan mangrove, hutan pantai dan hutan gambut.
Definisi Hutan Mangrove


Sebagian besar hutan alam di Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropis. Banyak para ahli yang mendiskripsi hutan hujan tropis sebagai ekosistem spesifik, yang hanya dapat berdiri mantap dengan keterkaitan antara komponen penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh. Keterkaitan antara komponen penyusun ini memungkinkan bentuk struktur hutan tertentu yang dapat memberikan fungsi tertentu pula seperti stabilitas ekonomi, produktivitas biologis yang tinggi, siklus hidrologis yang memadai dan lain-lain. Secara de facto tipe hutan ini memiliki kesuburan tanah yang sangat rendah, tanah tersusun oleh partikel lempung yang bermuatan negatif rendah seperti kaolinite dan illite. Kondisi tanah asam ini memungkinkan besi dan almunium menjadi aktif di samping kadar silikanya memang cukup tinggi, sehingga melengkapi keunikan hutan ini. Namun dengan pengembangan struktur yang mantap terbentuklah salah satu fungsi yang menjadi andalan utamanya yaitu ”siklus hara tertutup” (closed nutrient cycling) dan keterkaitan komponen tersebut, sehingga mampu mengatasi berbagai kendala/keunikan tipe hutan ini (Marsono, 1997).


Peluncuran WebGIS Kementerian Kehutanan oleh Menteri Kehutanan

Pada hari Kamis, 29 Juli 2010 bertempat di Crown Plaza Hotel, Jakarta telah dilaksanakan Peluncuran WebGIS Kementerian Kehutanan oleh Menteri Kehutanan. Peluncuran tersebut dilakukan sebelum Acara Penutupan Rapat Koordinasi Teknis (RAKORNIS)-2010 Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. WebGIS Kementerian Kehutanan merupakan Situs Informasi Geografis/ Data Spasial Kehutanan yang dapat diakses oleh publik dengan alamat situs: http://webgis.dephut.go.id/.

Kebutuhan informasi yang berbasis data spasial (keruangan) yang terkait erat dengan kegiatan Kementerian Kehutanan atau yang lebih dikenal dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Kehutanan saat ini telah menjangkau berbagai bidang guna mendukung keputusan dalam analisa data yang berhubungan dengan informasi lingkungan, wilayah, kependudukan, lokasi, kondisi alam lingkup kehutanan.

Pengembangan pembangunan infrastruktur sistem informasi geografis yang terencana disesuaikan dengan teknologi, kebijakan, dan standar untuk mendukung kebutuhan akan SIG yang selalu berkembang dari tahun ke tahun. Sehingga rancangan sistem jangka panjang dapat dikembangkan tahap demi tahap, dengan pemilihan platform SIG yang tepat. Hal ini akan berpengaruh pada kinerja sistem, kontinuitas sistem dan kemudahan integrasi sistem yang bersangkutan dan mempunyai dukungan teknis di berbagai tempat.

Penerapan aplikasi webGIS Kehutanan bertujuan menyediakan akses terhadap data dan informasi spasial kehutanan secara mudah dan cepat yang mendorong pemanfaatan serta pengintegrasian data dan informasi kehutanan untuk mendukung pengambilan keputusan.

Selain itu untuk meningkatkan pemahaman akan kegunaan data/ informasi geospasial kehutanan yang sangat penting dalam upaya memberikan kemudahan pertukaran dan penyebarluasan data spasial antar instansi pemerintah dan antara instansi pemerintah dengan masyarakat.

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan sebagai Unit Kliring Data Spasial Kehutanan mengintegrasi, memelihara (maintain) geodatabase, menyiapkan untuk pertukaran dan penyebarluasan data spasial Kehutanan sesuai dengan prosedur dan standard yang telah ditentukan (Permenhut P.59/Menhut-II/2008).

Geodatabase meliputi seluruh data spasial yang disusun dan bisa diakses oleh walidata eselon I dan eselon II dalam mendukung penyajian dan analisa spasial di masing-masing unit kerja. Sumber data spasial dibangun, dikumpulkan, dimutakhirkan dengan dukungan dari para walidata (pemangku data) dalam unit kerja-unit kerja Kementerian Kehutanan.

Oleh karena itu walidata berperan sangat penting untuk menjamin kualitas data spasial Kehutanan.

Sumber : http://www.dephut.go.id



Sunday, August 1, 2010

Nikmatnya Ngerujak di Pantai Natsepa Ambon


Foto: Ramadhian F/detikcom

Ramadhian Fadillah - detikNews

Ambon - Siang itu udara cukup terik di Pantai Natsepa, Ambon. Melihat aneka buah segar di jejeran pedagang rujak di depan pantai, timbul keinginan untuk mencoba rujak Natsepa yang terkenal.

"Dicoba kaka, ini rujak Natsepa," tawar Lena, seorang pedagang rujak di Pantai Natsepa pada saya, Minggu (1/8/2010).

Satu porsi rujak harganya Rp 7 ribu. Aneka buah dipotong dan dicampur sambal
rujak. Saat mencoba, rasanya manis dan sedikit pedas. Bumbu kacang yang digerus kasar masih terasa di lidah. Hmm nikmat. Mantap dimakan di hari yang terik.

"Memang rujak ini sudah terkenal. Jelang Sail Banda, tenda-tenda dibuat khusus, jadinya lebih meriah," terang Lena.

Pantai Natsepa ramai dikunjungi wisatawan. Terutama saat akhir pekan. Mulai dari rombongan keluarga hingga ABG bersantai menghabiskan waktu libur mereka di pantai yang indah ini. Khusus pasangan muda-mudi, rujak Natsepa ini dimakan sepincuk berdua. Kalau sudah begini, serasa pantai milik sendiri, yang lain hanya ngontrak.

Selain rujak, para pedagang dengan ramah menjajakan penganan khas Ambon. Mulai dari pisang goreng, sukun goreng hingga sagu manis, dijual di sini. Harganya sangat terjangkau.

Natsepa mudah dicapai dari Kota Ambon. Letaknya sekitar 14 km. Hanya berkendara selama 30 menit, sudah sampai. Kendaraan umun pun ada yang melewati pantai Natsepa.

Saat Sail Banda, Pantai Natsepa menjadi tempat kejuaraan selancar angin. Pantai ini pun makin semarak dengan aneka layar berwarna-warni.

(rdf/anw)

Sumber : http://www.detiknews.com/

Indahnya Senja di Ambon Manise


Foto: Ramadhian F/detikcom

Ramadhian Fadillah - detikNews

Ambon
- Jam menunjukkan pukul 18.00 WIT. Saat yang tepat untuk melarikan diri sejenak dari keramaian Kota Ambon. Menyaksikan matahari tenggelam adalah pilihan tepat untuk menutup hari yang melelahkan.

"Mau lihat matahari tenggelam dari atas Kota Ambon?" tawar Charles, sopir kami, Mingggu (1/8/2010).

Kami mengiyakan, Charles pun memacu mobil kami ke arah Timur Kota Ambon.
Tujuannya Karang Panjang, atau Karpan. Itu sebutan warga Ambon untuk tempat yang kami tuju.

Tidak butuh waktu lama untuk mencapai Karpan. Jalanan mulus dan tidak begitu
ramai, hanya 15 menit kami sudah sampai.

Di Karpan berdiri tegak patung wanita memegang tombak sambil memandang ke arah Teluk Ambon. Patung perunggu ini adalah patung Christina Martha Tiahahu, pahlawan nasional asal Ambon yang gagah berani. Pada usia 17 tahun dia sudah mengangkat senjata melawan Belanda.

Benar kata Charles, pemandangan dari Karang Panjang luar biasa indah. Matahari perlahan mulai tenggelam di Teluk Ambon. Semburat warna merah mewarnai langit. Di kejauhan saya bisa melihat Kapal USS Mercy yang sedang bersandar. Kapal milik Angkatan Laut AS ini sedang berada di Teluk Ambon dalam rangka misi sosial Sail Banda 2010.

Di sebelah selatan, lampu-lampu kota mulai dinyalakan, menambah semarak
pemandangan Kota Ambon. Saya menikmati setiap detik dari pemandangan ini sebelum langit benar-benar gelap. Senja di Ambon Manise akan menjadi kenangan yang tidak terlupakan.
(rdf/anw)

Sumber : http://www.detiknews.com/

Pemerintah Minta Masyarakat Tak Persoalkan Penamaan Sail Banda


Banda Naira/Ramadhian

Ari Saputra - detikNews

Banda Naira - Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono meminta masyarakat tidak terlalu emosional karena pelaksanaan Sail Banda berpusat di Ambon. Menurutnya, Sail Banda akan menjadi promosi gratis untuk masyarakat internasional meski kegiatan sail berada di Ambon Manise.

"Masalah nama tidak perlu ditanggapi secara emosional. Ini sebagai bentuk promosi ke turis asing. Tahun lalu, sail ada di Manado, tetapi namanya Sail Bunaken. Di kampung saya di Cirebon, ada Pekan Batik Cirebon tetapi aslinya Pameran Jawa Barat," kata Agung Laksono di depan masyarakat Banda termasuk tokoh Banda, Des Alwi, di Pulau Banda Naira, Maluku, Senin (2/7/2010).

Sanggahan itu dilontarkan usai sebagian masyarakat Banda mengaku kecewa karena kegiatan Sail Banda berpusat di Ambon (sekitar 7 jam perjalanan laut dari Ambon). Padahal, menurut warga, semua kekayaan laut, kegiatan diving dan keindahan alam berpusat di Banda seperti sudah banyak diketahui oleh wisatawan asing.

"Jadi namanya saja Sail Banda. Aslinya Sail Ambon. Kita cuma dipinjam nama, tidak sesen pun uang kegiatan mengalir ke sini," ucap warga Banda, Helmi Baadila. (Ari/nrl)

Sumber : http://www.detiknews.com/

Wednesday, July 21, 2010

Kerusakan Hutan Bakau Merugikan Nelayan

AMBON, KOMPAS - Kerusakan kawasan hutan bakau di Teluk Ambon, Maluku, merugikan kehidupan nelayan dan warga yang tinggal di bibir pantai. Sementara itu, upaya penanaman kembali bakau oleh pemerintah tidak berjalan baik karena sebagian bakau yang baru ditanam rusak diterjang gelombang. Jonas Noya (57), pemilik tujuh kapal nelayan dengan alat pancing huhate di Galala, Ambon, Maluku, menuturkan, hilangnya tanaman bakau membuat tidak ada lagi tempat bagi ikan umpan untuk berkembang biak.

Padahal, ikan umpan digunakan oleh para nelayan untuk menangkap ikan dengan alat pancing huhate. Ikan-ikan umpan itu di antaranya ikan tembang (Sardinella spp) dan ikan teri (Stolephorus spp). Karena tidak ada lagi ikan umpan di Teluk Ambon, Jonas mengatakan, para nelayan terpaksa mencari ikan umpan di pesisir Kabupaten Seram bagian Barat.

”Imbasnya, biaya operasional bertambah karena nelayan harus mengeluarkan tambahan biaya untuk membeli bahan bakar 400 liter per perahu. Belum lagi waktu yang dikeluarkan bertambah sembilan jam karena jauhnya perjalanan dari Teluk Ambon ke sana,” katanya.

Pembantu Dekan I Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Hansje Matakupan membenarkan penurunan jumlah ikan umpan secara drastis di Teluk Ambon. Selain hutan bakau rusak, hilangnya ikan ini diduga karena diambil terlalu banyak oleh nelayan.


Ulah Manusia

Matakupan menyatakan, hutan bakau rusak akibat ulah manusia, seperti mengubah kawasan hutan bakau menjadi tempat tinggal, dan buangan limbah bahan bakar kapal. Sementara itu, upaya penanaman kembali pohon bakau oleh pemerintah tidak berjalan baik. Di Lateri, Teluk Ambon, misalnya, bakau yang ditanam Pemerintah Kota Ambon akhir tahun 2006 di lahan seluas 2,5 hektar rusak diterjang ombak musim barat pada akhir tahun 2007.


”Ombak tinggi dan deras ini menghilangkan semua pohon bakau yang baru ditanam,” kata Ketua RT 1 RW 2 Lateri, Teluk Ambon, Ely Thenu.

Menurut Ely, bakau yang ditanam oleh pemerintah, baru berusia sekitar satu tahun sehingga belum kuat menahan terjangan ombak. Seharusnya yang ditanam adalah bibit bakau yang berusia lebih dari 2,5 tahun. Sadar akan pentingnya bakau, warga menanam sendiri bibit bakau. Penanaman bakau juga dilakukan kelompok mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat. Hasilnya, dari panjang pesisir pantai di Lateri sekitar 3 kilometer, sekitar 1 kilometer sudah ditanam bakau.


”Saat musim barat terjadi, warga di pesisir selalu kerepotan dengan ombak besar. Air laut kerap masuk ke permukiman. Warga selalu khawatir rumahnya rusak diterjang ombak. Karena itu, kami menanam sendiri bakau-bakau itu,” kata Ely. (APA)


Source: http://www.kp3k.dkp.go.id/


hutan mangrove


mangrove species


PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE


mangrove pelita jaya seram


hutan mangrove


( FILE PDF )


big mangrove



berperahu wisata alam



SCHOLARSHIP


Sunday, May 23, 2010

Ajaib, Matador Ini Tetap Hidup

Kompas - Senin, 24 Mei 2010


MADRID, KOMPAS.com - Seorang Matador Spanyol bernama Julio Aparicio (41) membutuhkan dua operasi besar, setelah mengalami serangan brutal banteng, yang nyaris menewaskan di arena adu banteng Madrid.

Opiparo, demikian banteng itu disebut menanduk tenggorokan Julio hingga ujung tanduknya tembus ke mulut.

Banteng berbobot setengah ton itu menyabet Julio hingga terjatuh. Lalu tanpa ampun, tanduknya yang tajam segera merobek lehernya dan menancap di tenggorokan Julio hingga tembus ke mulutnya.

Banteng itu dengan amukannya menggangkat tubuh Julio yang tak berdaya lalu diayun-ayunkan bak mainan, sebelum dilemparkan ke tanah. Penonton pun menjerit histeris, dan berfikir Julio pasti mati.

Para matador lain segera terjun ke arena untuk mengalihkan perhatian banteng dan berusaha menyelamatkan Julio. Julio sempat berdiri, sebelum akhirnya terhuyung dan jatuh pingsan berlumuran darah.

Petugas Medis segera memberi pertolongan, Julio langsung dilarikan ke rumah sakit.

Saat itu juga, Julio menjalani operasi darurat selama satu jam di Pusat Medis Las Ventas, sebelum dipindahkan ke Rumah Sakit di Madrid.

Di Madrid, dokter segera melaksanakan tracheotomy darurat dan berusaha keras untuk membangun kembali rahangnya, lidah dan langit-langit mulut dalam operasi bear yang berlangsung selama enam jam.

"Ia cukup lama berada di ICU rumah sakit. Kesadarannya mulai pulih dan tanda-tanda vital lainnya stabil," kata juru bicara rumah sakit.

Ayahnya, yang juga bernama Julio Aparicio mengatakan, tidak ditemukan komplikasi selama operasi.

"Ini merupakan kecelakaan yang fatal. Hampir seluruh mulutnya hancur. Terlalu dini untuk bicara tentang restorasi, kita harus menunggu dan melihat," katanya.

Julio Aparicio, dari Sevilla ini memang berasal dari keluarga matador terkenal. Di spanyol, pertarungan matador dengan banteng merupakan tontonan populer.

Apalagi, yang tampil matador terkenal seperti Julio. Dipastikan sekitar 25.000 tempat duduk akan terisi, serta televisi akan melakukan siaran langsung, jika dia yang tampil.



Tuesday, March 30, 2010

Nestlé berikan break untuk hutan

Nestlé menggunakan minyak kelapa sawit yang berasal dari hutan yang dihancurkan


Jakarta, IndonesiaAda Break? Sebelum Anda memiliki satu coklat kitkat silakan menonton video ini - 'Have a break?' Kami membutuhkan bantuan Anda untuk hutan mendapatkan istirahat (break) dan membantu Anda menyebarkan berita bahwa kami telah meluncurkan spoof video ini. Ini memperlihatkan biaya sebenarnya di balik sebuah cara beristirahat dengan coklat Kit Kat: Anda dapat mengambil dan memakan dari hasil hutan yang berharga di Indonesia, terima kasih Nestlé, pembuat Kit Kat, dengan menggunakan minyak kelapa sawit yang berasal dari hutan yang telah dihancurkan.

Aksi terjadi di Eropa sekitar 100 aktivis Greenpeace, berpakaian orang-utan di depan kantor pusat nestlé dan pabrik-pabrik di Inggris, Jerman dan Belanda. Mereka menyerukan pada pekerja Nestlé untuk mendesak perusahaan mereka dan menghentikan penggunaan minyak sawit yang berasal dari hutan yang di hancurkan.

Nestlé menggunakan minyak kelapa sawit dalam berbagai macam produk - termasuk Kit Kat. Permintaan minyak kelapa sawit telah meningkat sehingga perusahaan-perusahaan yang menjual minyak kelapa sawit itu menghancurkan hutan di Indonesia untuk membuka perkebunan kelapa sawit.

Kita membutuhkan hutan. Mereka memainkan peran penting dalam mengatur iklim dan menyerap CO2. Perusahaan yang memproduksi minyak kelapa sawit menebang paru-paru planet kita dan memberikan kontribusi menjadikan Indonesia sebagai negara penyumbang emisi karbon terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan Cina.

Ya, Anda membaca itu! Deforestasi bertanggung jawab atas emisi karbon lebih dari semua total emisi mobil, truk, pesawat, dan mobil di dunia: 1/5 dari total emisi.

Tapi itu belum semua. Deforestasi juga menhancurkan habitat orang utan dan hewan-hewan, mendorong spesies langka seperti orangutan yang sudah di ambang kepunahan dan menghancurkan mata pencaharian masyarakat lokal.



Intinya: waktunya untuk Nestlé untuk memberikan istirahat (break) dan berhenti membeli minyak kelapa sawit yang berasal dari hutan yang dihancurkan.

Nestlé adalah perusahaan makanan dan minuman terbesar di dunia, Sudah menjadi konsumen utama minyak kelapa sawit - tiga tahun terakhir Nestlé menggunakan minyak kelapa sawit hampir dua kali lipat. Mengingat citra dan pengaruh, menjadi contoh bagi industri dan memastikan tidak ada minyak sawit yang berasal dari kehancuran hutan. Sebaliknya, Nestlé tetap membeli dari perusahaan-perusahaan, seperti Sinar Mas, yang menghancurkan hutan di Indonesia dan lahan gambut.



Sinar Mas: 'perusak hutan'

Sinar Mas adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia. Yang meyediakan untuk bahan baku makanan, minuman, kosmetik dan biofuel perusahaan-perusahaan di seluruh dunia - termasuk Nestlé. Sinar Mas juga melanggar hukum dengan menghancurkan dan membakar hutan Indonesia hanya untuk perkebunan kelapa sawit.

Greenpeace meluncurkan laporan terbaru - 'Tertangkap Basah: Bagaimana eksploitasi minyak kelapa sawit oleh Nestlé memberikan dampak kerusakaan bagi hutan tropis, Iklim dan Orang-utan' - memperlihatkan hubungan antara Nestlé dan pemasok minyak kelapa sawit, termasuk Sinar Mas, yang memperluas perkebunan mereka yang kaya akan karbon dari lahan gambut dan hutan tropis. Tidak hanya daerah-daerah yang di hancurkan tetapi habitat utama orangutan, juga daerah yang kaya karbon; penghancuran sumber karbon adalah penyebab utama tingginya tingkat emisi karbon.



Semua ini harus datang sebagai kejutan bagi Nestlé. Kami telah menghubungi mereka dengan memaparkan bukti kegiatan Sinar Mas berkali-kali dan juga yang paling baru di bulan Desember, namun Nestlé terus menggunakan minyak kelapa sawit yang berasal dari Sinar Mas, termasuk Kit Kat. Perusahaan terkemuka lainnya telah berhenti membeli dari Sinar Mas sebagai hasil dari laporan yang mengejutkan dan praktek-praktek lainnya. Unilever telah membatalkan $ 30 USD juta dolar kontrak tahun lalu, sementara Kraft telah membatalkan kontraknya bulan lalu.

Kami tahu kegiatan konsumen: kami telah melihatnya lagi dan lagi. Dan kita rasa cukup bagi kami untuk memperingatkan Nestlé bahwa kami tidak akan membiarkan orangutan berkeliaran, mereka akan melakukan hal yang benar. Kami membutuhkan kamu untuk memberitahukan mereka. Dan kami membutuhkan anda untuk memberitahu teman-teman.

Anda dapat memberitahu mereka bahwa Indonesia memiliki laju deforestasi tercepat di dunia - dan tercantum di The Guinness Book of World Records. Hutan tropis di Indonesia layak mendapatkan istirahat.



Mintalah Nestlé untuk berhenti menggunakan minyak kelapa sawit yang berasal dari hutan yang hancur. Meminta mereka untuk membatalkan kontrak dengan pemasok yang buruk, seperti Sinar Mas dan menyerukan pemerintah Indonesia untuk melakukan perlindungan hutan dan lahan gambut dengan segera mengakhiri deforestasi. Katakan pada Nestlé bahwa ketika Anda memiliki istirahat - Anda ingin bebas dari penghancuran hutan.

http://www.greenpeace.org

Thursday, March 25, 2010

KONDISI HUTAN SEKUNDER DI INDONESIA

Pemanfaatan terus-menerus sumberdaya alam dari hutan-hutan primer dan sekunder dilakukan melalui :
  • Pemanfaatan kayu: melalui pembukaan tajuk dan meningkatnya pertumbuhan semak belukar, kegiatan ini menyebabkan terbentuknya hutan sekunder yang lebih rendah daya tahannya terhadap api apabila dibandingkan dengan hutan-hutan primer.
  • Perladangan berpindah: pembangunan jalan dan proyek transmigrasi menyebabkan meningkatnya kegiatan perladangan berpindah.
  • Konversi lahan menjadi areal perkebunan meningkatkan bahaya kebakaran.


Berkembangnya hutan-hutan sekunder setelah kebakaran mempunyai berbagai konsekuensi terhadap fungsi-fungsi ekonomi dan perlindungan (hutan):
  • menurunnya tingkat kesuburan tanah;
  • meningkatnya erosi tanah;
  • menurunnya kapasitas infiltrasi air;
  • menurunnya hasil-hasil panen yang disebabkan oleh serangan / gangguan binatang (burung-burung, babi hutan, dan monyet), yang tidak mendapatkan makanannya lagi dalam jumlah yang cukup di hutan-hutan sekunder;
  • membaiknya kondisi-kondisi untuk kegiatan perburuan pada tahun-tahun pertama setelah kebakaran hutan;
  • berkurangnya kemungkinan-kemungkinan pengambilan produk-produk non-kayu (misalnya: rotan, damar);
  • berkurangnya pemanfaatan jenis-jenis pohon komersil; Kegiatan pemanfaatan kayu dipusatkan pada daerah-daerah yang tidak atau mengalami kerusakan ringan akibat kebakaran hutan;

Seluruh tahapan suksesi dan tingkat kerusakan (dari yang ringan sampai yang berat) terdapat di hutan-hutan sekunder. Sebagai akibat dari kebakaran hutan, komposisi jenis-jenis pohon berubah menjadi jenis hutan sekunder Euphorbiaceae. Hutan sekunder ini hanya terdiri dari satu strata dengan hanya sedikit jenis-jenis pohon komersil.

Waktu suksesi yang dibutuhkan hutan ini untuk mencapai tingkat klimaks diperkirakan memakan waktu 30-500 tahun. Terjadinya lagi kebakaran hutan secara berulang-ulang akan mengakibatkan terbentuknya padang rumput Imperata cylindrica (alang alang) dan menghalangi suksesi dari hutan sekunder.

Penelitian di dekat kota Samarinda, Kalimantan Timur (Kartawinata, et al., 1983) menunjukkan bahwa pembentukan padang alang-alang hanya terjadi dalam kurun waktu 4 tahun setelah hutan primer atau hutan klimaks ditebang habis dan dibakar setiap tahunnya, untuk kemudian dijadikan ladang padi serta diberakan. Setelah satu tahun, sejak pembakaran pertama pada tahun 1977, telah tumbuh keanekaragaman jenis tumbuhan dan serangga yang masih cukup tinggi. Angka ini turun lagi setelah pembakaran tahun 1981, yang berarti tinggal 15 persen dari keanekaragaman tersebut. Hanya terdapat beberapa jenis yang tahan hidup, terutama alang-alang dan harendong. Dalam waktu 4 tahun, vegetasi ladang sudah hampir terkuasai. Jika pembakaran tidak dilakukan lagi, vegetasi tersebut akan membentuk belukar muda dan bila dibiarkan terus akan menjadi belukar tua atau hutan muda dengan keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dan struktur hutan yang lebih kompleks.

Jenis pionir yang mula­-mula tumbuh pada tempat terbuka bekas penebangan dan perladangan akan membentuk kalampoyan (Anthecephalus ehinensis), Macaranga sp., legundi (Vitex sp), seru (Schima walichii), tembesi (Fragrea fragrans) dan sungkai (Peronema canescens). Jenis jenis tersebut berumur pendek dan akan segera digantikan jenis lain yang lebih toleran dan tahan naungan. Pada akhirnya jenis klimaks inilah yang akan dominan seperti golongan Diptercarpaceae (meranti) antara lain meranti (Shorea), kapur (Dryobalanops), dan keruing resak.

Pohon besar tumbang dan mati akan tercipta sebuah celah (gaps) atau bukaan dalam hutan. Ini adalah suatu permulaan terjadinya proses regenerasi atau permudaan alami. Batang tersebut akan mengalami pelapukan sebagai akibat dari bentukan dan penghancuran secara alami. Selang beberapa tahun kemudian pohon tersebut berkembang lebih cepat, terlebih-­lebih bagi jenis memerlukan cahaya (intoleran). Akibat sering terkena cahaya matahari, pohon tersebut akhirnya digantikan dengan yang lebih besar. Celah yang terjadi tampak lebih besar, yang tumbuh sebagai pohon pionir dan cepat tumbuh tetapi pendek umur adalah Macaranga, Malotus, Trema, Anthocephalus, Duabanga, dan lain-lain (Manan, 1980).

Suksesi sekunder yang terjadi pada daerah hutan hujan yang diusahakan lalu ditinggalkan, pertumbuhannya akan dimulai dengan vegetasi rumput dan semak kecil atau terna, seperti Imperata Lylindrica (alang-alang), Amaranthus (bayam), Mimosa (rebah bangun), Ageratum dan Physalis (ciplukan). Semak-semak seperti Lantana camara (tembelekan), Salanum, Eupatorium (kirinyu), Piper aduncum, Tetracera dan Blumea sp akan tumbuh sesudah itu. Disusul kemudian oleh pohon-pohon seperti Macaranga, Vitex, Dillenia dan Ficus. Akhirnya apabila keadaan lingkungan memungkinkan, seperti keadaan tanah yang tidak tererosi, sesudah 15-20 tahun akan terjadi hutan sekunder muda dan 50 tahun kemudian akan menjadi hutan sekunder tua yang berangsur-angsur akan mencapai klimaksnya, yaitu hutan hujan dataran rendah. Hasil penelitian Soerianegara (1972) di daerah Gunung Honye Banten menunjukkan bahwa pada tanah-tanah yang baru sekitar 6 bulan sampai 12 bulan ditinggalkan untuk perladangan, hanya akan ditumbuhi rumput alang-alang, Terna stachytarpheta (jarong), Amaranthus, Mimosa, Ageratum dan semak-semak Grewia, Melastoma (senggani), Lantana, Solanum, Blumea (sembung), Eupatorium dan pohon-pohon Dillenia (sempur), Ficus hispida (leluwing), Vitex (laban). Sedangkan hutan sekunder yang lebih tua strukturnya akan lebih rapat dan ditumbuhi seperti jenis jenis pohon Alstonia (lame), Radermachera (padali), Pomotia (leungsir), Artocarpus elasticus (teureup) dan Baccaurea javaniea (houcit). Kerusakan yang sering terjadi justru sangat parah, yakni keadaan tanah dan air yang terganggu sehingga klimaks asal tidak mungkin dapat dicapai lagi. Dengan demikian, terbentuklah apa yang dinamakan disklimaks. Suatu contoh yang relevan didapati pada vegetasi yang sering mengalami gangguan karena pembakaran terus-menerus untuk perladangan berpindah tempat, yang hasilnya akan didominasi oleh adanya pertumbuhan seperti alang-alang (Imperata cylindrica).

Seperti pada daerah hutan hujan tropika yang telah mengalami penebangan guna perladangan, maka pada tanah-tanah bekas perladangan yang ditinggalkan akan terjadi juga suksesi sekunder, di mana suatu perubahan terhadap intensitas cahaya, suhu, kelembaban dan air akan muncul.

Intensitas cahaya yang biasanya terjadi di atas pepohonan rapat akan menjadi intensitas cahaya penuh, mengakibatkan suhu meningkat dan kelembaban berkurang. Hal ini juga berpengaruh terhadap susunan tanah, yakni terkikisnya humus apabila terjadi hujan. Keadaan ini menyebabkan jenis jenis rerumputan berumur pendek bermunculan, yang pada akhirnya apabila dibiarkan membelukar sendiri akan tumbuh jenis­-jenis tanaman suku Euphorbiaceae seperti Alchornea villosa (latih merah), Macaranga trichocarpa (latih putih), Croton argyratus (kayu timah merah), Mallow suppeltatus (kayu timah biru), Alpinia gigantea (sinar kubung). Suku Zingibiraceae seperti Geenthus spec (puar), Alpinia javanica (gaib) dan suku Maranthaceae berasal dari jenis-jenis nglirih. Vegetasi-vegetasi ini akan berkurang dan bahkan habis jika tanah terpadatkan. Karena adanya penebangan secara mekanis, tanah yang terpapar akan tererosi oleh curah hujan yang menghantam permukaannya. Umumnya pepohonan ini mem­punyai umur pendek dengan sifat cepat tumbuh dan pemencaran biji-bijiannya yang dibantu oleh angin dan hewan. Akan tetapi karena cepat tumbuh maka kecambah bijinya sendiri yang memerlukan cahaya tidak dapat tumbuh. Pertumbuhan pohon akan menjadi lebih lambat dan tahan naungan. Tetapi umurnya juga akan pendek (1 musim), sehingga pohon ini segara akan digantikan oleh spesies lain. Bertahun-tahun kemudian hutan berangsur-angsur menjadi lebih beragam dan mirip dengan klimaks wilayah tersebut. Namun begitu, segi komposisi dan jenisnya tidak mampu untuk menyamakan seperti aslinya. Suksesi sekunder yang berjalan kembali ke tahap sebelumnya ini disebut suatu perubahan retrogresi.f.

Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa komposisi dan jenis spesies tidak bisa menyamai bentuk aslinya, seperti apa yang dikemukakan oleh Gradwohl dan Greenberg (1988):
  • Penebangan dan pembakaran kemungkinan akan melepaskan zat hara ke dalam tanah tropik yang miskin, yang kemudian diluruhkan dengan adanya hujan tropik yang hangat.
  • Rumitnya proses regenerasi, seperti pengaruh iklim mikro terhadap semaian pohon hutan asli, di mana suksesi awal dimulai dari spesies jenis pendatang.
  • Biji hutan tropika sering disebarkan oleh hewan yang adakalanya sangat sedikit jumlahnya, sehingga sumber biji harus berada di dekat daerah tebangan. Oleh karenanya, populasi penyebar harus mampu bertahan terhadap perubahan-perubahan habitat yang drastis. Di samping itu, sistem perkembangbiakan pohon yang disebarkan hewan tersebut mempunyai bunga jantan dan betina yang berada pada dua pohon atau rumah yang berbeda. Karena itu diperlukan suatu penyerbukan silang antarindividu, yang berarti bahwa pohon-pohon yang tumbuh harus.berdekatan dengan penyerbuk di sekitarnya. Apabila pertumbuhan pohon sangat jarang atau berjauhan akibat keragaman yang umum dijumpai pada hutan tropik, dengan sejumlah kecil spesies, maka penyerbukan dan penyebaran sangat sulit terjadi.
  • Pohon sangat memerlukan adanya hubungan simbiosis khusus dengan jamur yang dikenal sebagai mikorhiza.
  • Terdapatnya kumpulan biji yang belum berkecambah di tanah tropik yang dikenal sebagai "bank benih". Selama ini belum dikenal berapa lama biji-biji tersebut dapat hidup karena sangat bervariasinya antarspesies dalam menghadapi serangan serangga dan jamur. Di samping itu, kondisi untuk hidup yang dijumpai pada daerah yang ditebang oleh manusia sering sangat tertekan.
  • Rerumputan dan semak yang kaku, berduri dan tahan api, menjadi subur setelah proses pembakaran dan perumputan yang lama. Tumbuh-tumbuhan ini dapat menghambat pertumbuhan hutan


DAFTAR PUSTAKA
  • Arief, Arifin, (1994), Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
  • Daniel, Theodore. W, John. A. Helms, Frederick S. Baker, (1978), Prinsip-Prinsip Silvikultur (Diterjemahkan oleh Dr. Ir. Djoko Marsono, 1992), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
  • Emrich Anette, Benno Pokorny, Dr, Cornelia Sepp. (2000) Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder Dalam Kebijakan Pembangunan (Penelitian Hutan Tropika). Deutsche Gesellschaft Für Technische Zusammenarbeit (Gtz) Gmbh Postfach 5180 D-65726 Eschborn
  • Marsono, Dj (1991). Potensi dan Kondisi Hutan Hujan Tropika Basah di Indoensia. Buletin Instiper Volume.2. No.2. Institut Pertanian STIPER. Yogyakarta.
  • Schindele, W. (1989): Investigation of the steps needed to rehabilitate the areas of East Kalimantan seriously affected by fire.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN HUTAN SEKUNDER

FAKTOR-FAKTOR EKOLOGI

Sebagaimana halnya pada seluruh hutan lainnya, karakteristik-karakteristik dan perkembangan hutan-hutan sekunder juga tergantung pada kondisi-kondisi spesifik pertumbuhannya. Kondisi-kondisi spesifik tersebut mencakup tidak hanya perkembangan dari pertumbuhan riap dan volume tegakan saja, melainkan juga struktur dan komposisi tegakan. Kondisi-kondisi pertumbuhan ini ditentukan oleh pengaruh-pengaruh iklim utama (zona iklim dan vegetasi) dan kondisi-kondisi regional, serta oleh karakteristik-karakteristik dan perkembangan hutan itu sendiri.

  • Kondisi-kondisi tapak

Formasi hutan (vegetasi fase klimaks) yang dimasukkan dalam suatu zona iklim tertentu memberikan petunjuk mengenai ciri-ciri dari suatu hutan sekunder di masa yang akan datang, karena dalam jangka-waktu tertentu hutan sekunder ini akan berkembang kearah vegetasi klimaks -tentu saja apabila tidak ada sumberdaya genetik yang hilang. Setiap benua memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan didalam zona vegetasi yang sama, tergantung pada sejarah perkembangan mereka masing-masing.

Tetapi dimana kondisi tapaknya sama, kelompok-kelompok jenis yang serupa akan terbentuk. Di semua benua, contohnya, jenis-jenis vegetasi dari masing-masing fase suksesi menunjukkan karakteristik-karakteristik yang sama. Namun, proporsi jenis-jenis pohon komersil kadang-kadang sangat berbeda. Sebagai contoh, hutan-hutan dipterokarpa dataran rendah di pulau-pulau Asia Tenggara memiliki lebih banyak jenis-jenis pohon yang bernilai tinggi dibandingkan hutan-hutan tropik lainnya, dan oleh karena itu hutan-hutan tersebut dieksploitasi secara lebih intensif (Kartawinata 1994).

Contoh ini menggambarkan bahwa perbedaan-perbedaan regional juga dapat sangat mempengaruhi perkembangan dan potensi dari hutan-hutan sekunder.

Perbedaan-perbedaan iklim dalam suatu jalur vegetasi (misalnya temperatur dan curah hujan) juga mempengaruhi jalannya suksesi. Di daerah tropik, contohnya, dalam proses penghutanan kembali dari suatu areal yang ditebang habis, coppice memainkan peranan yang semakin penting apabila iklimnya semakin kering dan semakin dingin. Pada sebagian besar hutan-hutan kering yang ditebang, regenerasi yang terjadi hanya melalui coppice dan tunas-tunas akar.

Pada daerah-daerah yang tinggi (pegunungan) di kawasan tropika, fase pionir sama-sekali tidak terjadi dan areal-areal tersebut langsung dikolonisasi dengan jenis-jenis pohon klimaks. Iklim mikro (cahaya, radiasi, angin, temperatur dan kelembaban) didalam suatu zona vegetasi sangat dipengaruhi oleh vegetasi yang tersisa setelah terjadinya gangguan. Hal ini sangat mempengaruhi kondisi-kondisi permudaan. Sebagai contoh, intensitas cahaya yang tinggi serta fluktuasi radiasi dan kelembaban menguntungkan bagi permudaan jenis-jenis pionir awal, sedangkan intensitas cahaya yang rendah diperlukan untuk pertumbuhan jenis pohon klimaks yang tumbuh dibawah naungan tajuk.

Faktor ekologi lainnya yang penting untuk suksesi adalah kesuburan tanah (Finegan 1992). Suksesi berjalan jauh lebih lambat pada tanah-tanah yang miskin unsur hara daripada pada tanah yang kaya unsur hara. Pada tanah-tanah yang sangat miskin akan unsur hara, kolonisasi jenis-jenis pionir awal membutuhkan waktu puluhan tahun lamanya dan terjadi dengan sangat tidak teratur. Walaupun demikian, tanah-tanah yang kurang subur mempunyai potensi yang cukup untuk rekolonisasi, dengan syarat bahwa tidak terjadi degradasi tanah lebih lanjut (Uhl et al. 1988). Tanah-tanah semacam itu seringkali ditumbuhi oleh jenis-jenis pohon berkayu keras yang tumbuh sangat lambat, yang mencirikan jenis-jenis pohon klimaks yang khas pada tapak-tapak tersebut. Semakin miskin tanah, semakin besar pengaruh intervensi-intervensi (gangguan-gangguan) (Sanchez 1976).

Degradasi tanah yang terjadi dapat sedemikian beratnya akibat gangguan-gangguan manusia yang sangat kuat, sehingga proses penghutanan kembali secara alami dapat terhalangi selama beberapa dekade atau bahkan beberapa abad (Corlett 1995).


  • Sumberdaya-sumberdaya permudaan/regenerasi

Disamping kondisi-kondisi abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan hutan sekunder juga tergantung pada komposisi dan kerapatan flora dan fauna yang berhubungan dengan regenerasi. Disini, hal-hal yang penting adalah vegetasi yang tersisa di areal hutan sekunder setelah adanya gangguan, seperti juga jarak dari hutan (misalnya hutan primer) yang (masih) ada.

Kemampuan regenerasi alam yang ada (dalam bentuk coppice, tunas-tunas akar dan biji-biji/benih-benih yang berada di tanah) sangat mempengaruhi jalannya suksesi. Bila potensi regenerasi yang ada habis atau rusak, maka permudaan alam menjadi sangat penting. Dalam hal ini jarak, struktur dan keanekaragaman jenis dari hutan-hutan primer dan sekunder yang lebih tua yang letaknya berdekatan meminkan peranan yang sangat penting. Selain itu, fauna yang masih ada (sebagai media terpenting dalam penyebaran benih-benih dari jenis-jenis pohon klimaks) juga memiliki peranan yang sangat penting. (Corlett 1995). Jika biji/benih tidak dapat disebarkan melalui binatang-binatang, maka permudaan dari jenis-jenis klimaks yang memiliki biji-biji yang berat hanya dapat berlangsung disekitar pohon-pohon induk.






PENGARUH MANUSIA


  • Pemanfaatan Kayu

Penebangan/pengambilan kayu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap flora dan fauna, seperti juga halnya terhadap iklim mikro dan tanah. Fauna dipengaruhi secara tidak langsung dengan rusaknya habitat mereka dan secara langsung melalui perburuan. Besarnya pengaruh/akibat dari pembalakan tergantung pada intensitas dan frekwensinya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak pohon yang ditebang dan semakin luas areal yang diusahakan, maka semakin baik kondisi-kondisi untuk permudaan jenis-jenis pionir awal serta semakin kecil keragaman benih/bibit yang tersedia dan dengan demikian keragaman jenis yang ambil bagian dalam suksesi. Pada saat yang bersamaan, resiko degradasi tanah meningkat sejalan dengan intensitas gangguan. Berdasarkan keadaan tersebut, gradien dampak penebangan dapat ditentukan mulai dari penebangan secara selektif (tebang pilih) sampai ke tebang habis.

  • Tebang Pilih

Pada kegiatan penebangan secara selektif (tebang-pilih) sebagian besar dari keanekaragaman jenis tidak menghilang. Gap-gap yang terjadi akibat penebangan biasanya ditutupi oleh pertumbuhan pohon-pohon disekitarnya. Meskipun demikian, tebang-pilih juga dapat mengakibatkan pemiskinan jenis sampai punahnya satu atau lebih jenis pohon di suatu wilayah. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah dimana jenis-jenis pohon klimaks dengan biji yang berat mempunyai kerapatan yang rendah, atau dimana potensi rekolonisasi tidak ada akibat penggundulan daerah-daerah disekitarnya. Karena pada sistem tebang-pilih hampir semua jenis pohon komersil ditebang, maka potensi ‘ekonomi’ hutan menjadi sangat berkurang dengan semakin sedikitnya keanekaragaman jenis pohon yang masih tersisa.

Tebang-pilih juga sangat melindungi struktur tanah dan ketersediaan unsur hara,yang dengan demikian memungkinkan terjadinya rekolonisasi secara cepat (Corlett 1994). Tanah didekat jalan-jalan logging dapat menjadi sangat rusak akibat pemadatan tanah yang lebih intensif dan erosi yang mungkin terjadi (Johns 1992). Karena itu, dampak-dampak tebang pilih hanya dapat dinilai sepenuhnya, apabila akibat-akibat tidak langsung dari penebangan juga diperhitungkan didalamnya. Contohnya, pembukaan wilayah hutan dalam rangka kegiatan tebang-pilih dan pengambilan kayu-kayu berdiameter besar akan sangat mempermudah pemanfaatan areal selanjutnya untuk tujuan-tujuan lain (misalnya untuk pertanian). Hal ini mengurangi kemungkinan-kemungkinan untuk mengkonservasikan hutan atau menghutankan kembali suatu areal.

Jika tebang-pilih dilakukan di sebuah hutan berulang-kali dalam jangka-waktu yang panjang, maka proporsi jenis-jenis pohon komersil akan berkurang, unsur-unsur hara akan menipis, dan tegakan tersebut akan semakin terbuka. Semua faktor-faktor ini menurunkan kemampuan/kualitas tapak untuk jangka waktu yang lama.

  • Tebang Habis

Dalam sistem tebang-habis, seluruh jenis pohon yang ada ditebang. Struktur tanah dan unsur-unsur hara yang ada dirusak sedemikian rupa sehingga rekolonisasi areal tersebut didominasi oleh jenis-jenis yang berasal dari luar areal tersebut (Corlett 1994). Dalam keadaan seperti ini, ketersediaan, penyebaran dan frekwensi jenis-jenis potensil sangat menentukan proses suksesi yang terjadi.

Sebagai akibat dari eliminasi vegetasi secara total dalam skala besar melalui kegiatan tebang-habis, maka hutan-hutan sekunder yang tumbuh setelah itu pada umumnya miskin akan jenis dan seringkali tidak mempunyai jenis-jenis pohon yang berasal dari komunitas pohon klimaks. Biasanya hanya beberapa jenis pohon pionir yang akan mendominasi areal tersebut, yaitu jenis-jenis yang juga memulai rekolonisasi ga-gap besar dalam hutan-hutan klimaks. Yang ikut menentukan kecepatan dan jalannya suksesi adalah ketersediaan dari dan jaraknya ke sumber-sumber dan penyebar benih/bibit serta adanya coppice dan benih-benih di tanah (tergantung dari jenis pohon, benih-benih tersebut dapat dibawa oleh angin yang kuat sampai beberapa ratus kilometre, atau tinggal di tanah dalam keadaan dorman untuk beberapa tahun lamanya).

Pemadatan tanah yang terjadi akibat penggunaan mesin-mesin berat secara intensif mempunyai dampak negatif dalam jangka-panjang terhadap akumulasi biomasa (Finegan 1992), yang terutama di tanah-tanah miskin memainkan peranan penting sebagai penyimpan unsur-unsur hara (Poels 1982). Pada tanah-tanah yang padat, rekolonisasi memakan waktu yang lebih lama. Areal-areal kosong dan jalan-jalan merupakan titik awal dari erosi, yang terutama pada daerah-daerah lereng dapat menimbulkan terjadinya pengangkutan tanah dalam skala besar. Meningkatnya intensitas pembalakan menyebabkan semakin beratnya degradasi yang terjadi. Pada gangguan-gangguan yang terjadi dalam skala besar, erosi tanah dan pencucian unsur-unsur hara memainkan peranan yang semakin penting.

Perbedaan antara tebang-pilih dan tebang-habis menjadi semakin tidak jelas apabila hutan-hutan tersebut semakin sering ditebang atau tidak ditebang seluruhnya dalam sistem tebang-habis. Setiap batang pohon yang ditinggalkan mempunyai efek yang positif terhadap kecepatan rekolonisasi dan komposisi jenis dari hutan yang baru (Fedlmeier 1996).



  • Kebakaran

Kebakaran yang biasa terjadi di daerah-daerah dengan periode kering yang jelas memperbesar dampak-dampak dari tebang-habis seperti yang dipaparkan di atas. Api/kebakaran mengurangi lebih lanjut potensi permudaan yang ada dengan memusnahkan tanaman-tanaman muda yang masih hidup dan mengurangi kemampuan pohon-pohon untuk bertunas (coppice).

Kebakaran yang terjadi berulang-kali bahkan dapat menyebabkan degradasi secara permanen dengan memusnahkan kemampuan akar dan batang untuk bertunas serta kemampuan benih-benih jenis-jenis pohon pionir yang berada di tanah untuk berkecambah. Di daerah-daerah tropik beriklim sedang, kebakaran yang terjadi berulang-kali dapat menyebabkan terjadinya suksesi kearah pembentukan formasi vegetasi dengan jenis-jenis yang tahan api.

Peningkatan persediaan unsur-unsur hara yang terjadi setelah adanya kebakaran dapat berlangsung sampai 3 tahun lamanya. Persediaan total unsur hara selalu berkurang melalui proses-proses pencucian dan konversi. Selain itu, erosi dan dan pemadatan tanah juga memainkan peranan penting. Tingkat degradasi yang terjadi akibat kebakaran tergantung tidak hanya dari karakteristik-karakteristik tanah serta kondisi-kondisi mikro dan makro dari tapak (kelerengan, posisi pada lereng, curah hujan, temperatur), melainkan juga khususnya dari macam dan besarnya gangguan.



  • Pertanian

Tebang pilih, tebang habis dan/atau kebakaran seringkali merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum dilakukannya pemanfaatan lahan untuk pertanian. Karena itu, seluruh dampak/efek yang telah dijelaskan di atas juga berlaku untuk pemanfaatan lahan untuk pertanian. Budidaya pertanian skala kecil saja sudah dapat sangat mengurangi potensi permudaan melalui pemusnahan tanaman-tanaman muda yang ada dan penurunan kemampuan untuk bertunas dari batang-batang yang ada (coppice) (Corlett 1995). Oleh sebab itu, rekolonisasi areal tersebut tergantung sepenuhnya dari vegetasi yang berada disekitarnya.

Apabila perkembangan hutan sekunder terjadi setelah adanya pemanfaatan wanatani (misalnya penanaman pohon untuk menaungi tanaman kopi atau untuk memenuhi kebutuhan subsisten pertanian, yang biasanya mempunyai bentuk batang yang jelek dan volume kayu yang kecil), maka pohon-pohon yang ditanam dalam rangka kegiatan wanatani seringkali menentukan komposisi jenis pada fase awal suksesi.

Didalam ruang-lingkup sistem-sistem tradisional perladangan berpindah, komposisi jenis dari hutan-hutan yang kemudian berkembang sangat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan yang dilakukan, yaitu mulai dari penanaman pohon-pohon buah berumur panjang sampai pada pengmebangan komunitas-komunitas suksesi secara buatan.

Karena lahan-lahan yang produktif/subur biasanya digunakan untuk kegiatan pertanian, maka hutan-hutan biasanya tumbuh diatas lahan-lahan marjinal yang kurang menarik untuk pertanian. Lahan-lahan marjinal ini bahkan seringkali digunakan untuk pertanian, contohnya dalam sistem-sistem perladangan berpindah. Budidaya (pertanian) menyebabkan mobilitas unsur hara yang lebih tinggi. Namun, vegetasi yang ada tidak mampu menyerap dengan cepat unsur-unsur hara yang dilepaskan. Sebagai akibatnya terjadi pencucian unsur-unsur hara dan pengangkutan (erosi) tanah, yang khususnya terjadi pada intervensi (kegiatan pertanian) skala-besar dan pada kondisi-kondisi tapak yang sensibel.

Degradasi ini sangat memperlambat jalannya suksesi. Contohnya, areal-areal yang diteliti di Venezuela, yang tidak digunakan untuk kegiatan pertanian, mempunyai jenis-jenis kayu tiga kali lipat banyaknya, tutupan hutan yang lebih rapat, dan biomasa 30% lebih banyak dari areal-areal yang digunakan untuk kegiatan pertanian lima tahun sebelumnya. Tingkat degradasi yang terjadi tergantung dari intensitas dan lamanya pemanfaatan. Pemanfaatan pertanian yang lama tanpa menggunakan pupuk dapat memperburuk kondisi-kondisi tanah dengan sangat cepat. Contohnya, tanda-tanda defisiensi unsurunsur hara pada tanah-tanah Oxisol dan Ultisol yang miskin serta pada beberapa tanah vulkanik (Mazzorino et al. 1988) sudah mulai kelihatan dalam waktu kurang dari 5 tahun. Setelah 8 tahun, tingkat pertukaran aluminium sampai 100% sudah dapat diukur (Sanchez et al. 1983). Berlawanan dengan tapak-tapak yang hanya sedikit dimanfaatkan, pada tanah-tanah/tapak-tapak tersebut tidak terdapat lagi P, K, Ca atau Mg dalam konsentrasi yang signifikan.

Di daerah-daerah tropik, pemanfaatan lahan untuk pertanian dalam jangka waktu lebih dari 5 tahun menyebabkan degradasi lahan yang berat. Permudaan dari banyak jenis pohon akan terhambat, karena potensi permudaan yang ada dirusak melalui pengolahan tanah, atau karena terjadinya perubahan radikal dari komposisi mycorrhizae yang sangat menentukan kemampuan pohon untuk berkompetisi. Budidaya pertanian yang lebih lama dan lebih sering serta degradasi yang diakibatkannya dapat menyebabkan terbentuknya fase semi-klimaks yang sangat berbeda dari hutan aslinya (Corlett 1995). Bambu (Whitemore 1984), rumput Imperata (Kartawinata 1994) atau padang alang-alang (Amerika Tengah) dapat mencegah terbentuknya hutan kembali dalam jangka-waktu yang tidak terbatas. Dalam kasus-kasus yang ekstrim, perubahan-perubahan semacam ini dapat menyebabkan terbentuknya formasi semak-belukar yang permanen.


  • Peternakan/penggembalaan di padang rumput

Padang rumput selalu ditinggalkan bila kondisi-kondisi yang ada tidak lagi menunjang kegiatan penggembalaan. Kedalam kondisi-kondisi ini termasuk pengambilan kembali hak-hak penggunaan lahan, masalah-masalah yang menyangkut kesehatan ternak, serta keterbatasan ekonomi yang menyebabkan peternakan tidak menguntungkan lagi dan menurunnya kesuburan tanah. Potensi permudaan yang masih ada (setelah tebang-habis) untuk berkecambah bertahan lebih lama apabila lahan tersebut digunakan untuk penggembalaan ternak dibandingkan dengan apabila lahan tersebut digunakan untuk budidaya tanaman pertanian.

Selain itu, setelah digunakan untuk penggembalaan lahan, tersebut memiliki lebih banyak bahan organik dibandingkan dengan, contohnya, setelah digunakan sebagai perkebunan kopi. Bahkan, lahan penggembalaan sering mempunyai bahan organik yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan primer. Walaupun demikian, padang rumput dapat merupakan penghambat langsung atau tidak langsung untuk suksesi hutan, karena padang rumput menjadi habitat bagi hewan-hewan pemakan biji, menyaingi tanaman-tanaman kayu dalam pemanfaatan unsur-unsur hara, memperbesar defisit air pada musim kering, dan memperbesar risiko terjadinya kebakaran.

Dilain pihak, padang rumput di dataran-dataran rendah tropik basah dan tropik beriklim sedang kebanyakan akan menghilang, kecuali apabila terjadi kebakaran secara periodik (Goldammer 1995). Erosi dan pemadatan tanah pada lahan-lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian lebih tinggi dibandingkan pada lahan-lahan yang ditutupi/ditumbuhi oleh rumput secara permanen.

Baca Selanjutnya :


Tulisan-Tulisan Berkaitan :
  1. Definisi dan Pengertian Hutan
  2. Klasifikasi Hutan menurut Jenis, Kerapatan dll
  3. Klasifikasi Pohon dalam Sebuah Hutan
  4. Definisi Pohon dan Pohon-Pohon Menakjubkan
  5. Gambar dan Bentuk Pohon Pohon
  6. Manfaat Hutan dalam Perdagangan Karbon
  7. Silvikultur Hutan Alam Tropika
  8. Jenis dan Tipe Hutan di Indonesia
  9. Tipe-tipe Hutan Tropika
  10. Struktur Hutan Hujan Tropika
  11. Faktor-Faktor yang Mengontrol Siklus Hara
  12. Faktor-Faktor Lingkungan dan Pembangunan Hutan
  13. Pengelolaan Hutan Tanaman
  14. Penentuan Kerapatan Tegakan
  15. Metode Penentuan Kerapatan Tegakan
  16. Ruang Tumbuh Kerapatan Tegakan Jarak Antar Pohon
  17. Metode Lain Pengukuran Kerapatan Tegakan
  18. Evaluasi Berbagai Metode Mengukur Kerapatan Tegakan
  19. Keuntungan dan Kerugian Sistem Tebang Habis
  20. Keuntungan dan Kerugian Sistem Tebang Pilih
  21. Proyek Pembuatan Hutan di Gurun Sahara


DAFTAR PUSTAKA
  • Arief, Arifin, (1994), Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
  • Daniel, Theodore. W, John. A. Helms, Frederick S. Baker, (1978), Prinsip-Prinsip Silvikultur (Diterjemahkan oleh Dr. Ir. Djoko Marsono, 1992), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
  • Emrich Anette, Benno Pokorny, Dr, Cornelia Sepp. (2000) Relevansi Pengelolaan Hutan Sekunder Dalam Kebijakan Pembangunan (Penelitian Hutan Tropika). Deutsche Gesellschaft Für Technische Zusammenarbeit (Gtz) Gmbh Postfach 5180 D-65726 Eschborn
  • Marsono, Dj (1991). Potensi dan Kondisi Hutan Hujan Tropika Basah di Indoensia. Buletin Instiper Volume.2. No.2. Institut Pertanian STIPER. Yogyakarta.
  • Schindele, W. (1989): Investigation of the steps needed to rehabilitate the areas of East Kalimantan seriously affected by fire.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

KERUSAKAN HUTAN